2420 mdpl, Taman Sari Atas

“Reano! Aku ... capek ....” Rachel berhenti dan mulai berjongkok sembari mengatur napasnya yang kian menipis mengikuti ketinggian tempat yang gadis itu pijak.

“Jangan jongkok. Gak baik. Ayo berdiri terus duduk di sini.” Reano menuntun Rachel untuk naik ke salah satu tanah yang lebih tinggi dari tanah lainnya. Sebuah tanah lapang yang pemuda itu pikir sangat sesuai untuk mendirikan sebuah tenda untuk bermalam.

“Nih kamu minum ini.” Reano memberikan sebotol air gula merah dan langsung mendirikan tenda seorang diri. Gadis itu hanya mengenggam botol pemberian Reano dan justru menatap barisan bintang yang menghiasi angkasa di pos dua pendakian gunung Lawu, pos yang dikenal sebagai Taman Sari Atas yang terletak di ketinggian 2420 meter di atas permukaan laut.

“Cantik ya langitnya? Sama seperti kamu.” Rachel terkejut dengan kehadiran Reano yang kini ikut duduk dan menatap langit.

“Sayang sekali, saya gak bawa gitar. Nanti coba nanya ke pendaki di shelter deh, siapa tahu ada yang bawa.” Gadis itu langsung mencengkram bisep kekar dan menahan teman mendakinya itu.

“Gak usah! Ngapain sih?” Reano hanya terkekeh, membuat kelopak matanya membentuk sepasang bulan sabit yang sangat indah.

“Kan biar ada hiburan. Kamu gak bisa akses internet. Kata teman saya, kalau mau sinyal yang bagus harus ke base tiga, di sana sinyal Telkomsel katanya bagus.” Rachel tertawa, dan langsung beranjak untuk mengeluarkan sebuah kompor portable dari dalam carrier miliknya.

“Kamu mau mi kuah atau mi goreng, Re?” Reano berjalan mendekati Rachel sembari menggosok kedua tangan dan menempelkan telapak tangannya yang hangat itu ke pipi Rachel.

“Saya boleh minta mie kuah? Nesting saya ada di kamu kan?” Rachel mengangguk dan mulai memasak sebuah mi instan menggunakan nesting milik Reano.

“Nih,” ujar Rachel sembari memberikan sebuah nesting berisikan mi soto yang masih hangat.

“Kamu makan duluan aja.”

“Bareng aja. Nanti aku selesai keburu dingin. Ini juga udah dingin tahu.”

“Iya ... iya, saya makan.” Reano mengambil satu garpu yang tersedia dan mulai menyantap makanan yang disajikan oleh Rachel. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum dan menatap Reano yang kini tengah menyeruput mi soto tersebut.

“Hog henda maghan?” (Kok enggak makan?) Rachel lagi dan lagi tertawa, lalu menyuruh Reano untuk menelan makanannya terlebih dahulu.

“Kamu habisnya lucu pas makan. Aku juga mau makan nih.” Rachel hendak menyuap namun terhenti karena sikap Reano yang menyelipkan rambut Rachel yang terjuntai ke belakang telinga.

“Makasih.” Rachel tersenyum dan melanjutkan aktivitas menyantap makanan dan memecah kesunyian malam dengan canda tawa.

Taman Sari Atas menjadi saksi di mana kedua insan itu saling melawan rasa dingin di ketinggian 2.420 mdpl, menikmati gemerlap bintang yang kini menjadi atap untuk mereka bernaung. Tak peduli dengan bau belerang dari kawah candradimuka.

“Rachel, besok pagi kamu di sini saja. Soalnya saya besok jam empat mau ngejar sunrise.”

“Ikut ....”

“Tidak usah ... nanti kaki kamu sakit. Masih sakit kan ankle kamu?” Rachel mengangguk, membuat pemuda itu menepuk kepala sang gadis sembari tersenyum.

“Ya sudah, kamu tidur di dalam saja. Saya mau jaga api unggun sambil menghangatkan badan. Selamat malam!”