absquatulate
Terkadang, dunia itu lucu. Mempertemukan kita yang sama-sama tidak kenal, membuat kita mendekat dan nyaman, untuk pada akhirnya dipisahkan untuk selama-lamanya.
“Dika, lagi ngapain?” Suara lembut itu menyapa lembut indra pendengaranku, membawakan seluruh perasaan hangat yang bergejolak di dalam dadaku.
“Kok wajah kamu babak belur gini sih? Kamu habis berantem sama siapa? Ayo cerita sama aku.” Gadis bersurai hitam panjang itu tak henti-hentinya memandangi wajahku yang penuh luka memar sembari bibirnya yang terus menerus melemparkan pertanyaan. Wajah Sekala memanglah biasa saja, namun entah mengapa aku menyukai gadis itu dan sangat mencintainya dengan sepenuh hati.
“Enggak berantem kok. Cuman jatuh tadi.” Bohong. Aku sengaja berbohong kepada gadis itu karena aku tak mau membuatnya semakin khawatir denganku. Sejujurnya, luka lebam ini tercipta setelah perjuanganku bertahan hidup setelah dua orang laki-laki sepantaranku yang melayangkan bogeman mentah secara mendadak. Lalu menghabisi aku tanpa penjelasan apapun.
“Masa sih? Jatuh darimana kayak gini? Dari empang?” Aku tertawa begitu saja ketika mendengar lawakan receh milik Sekala. Padahal aku bisa saja diam dan tak tertawa, namun aku sungguh tak kuat untuk menahan ekspresi wajah Sekala yang sangatlah lucu.
“Hahaha, iya ... jatuh dari empang Mpo Saleh. Oh iya Kala, hari ini kamu ada jadwal konsultasi dokter kan?” Gadis itu mengangguk, dan ia berkata bahwa sebenarnya ia sangat malas untuk bertemu dengan dokter senior yang menanganinya. Karena ujung-ujungnya, gadis itu harus berbaring di ranjang rumah sakit, menerima sebuah cairan yang masuk ke tubuhnya, dan pada akhir cerita akan membuatnya merasa tak napsu makan sama sekali.
Mungkin saat kalian membacanya, kalian akan mengatakan bahwa penyakit Sekala adalah penyakit yang sangatlah biasa dan selalu dialami oleh wanita-wanita di cerita fiksi. Namun benar, gadis yang kini mulai berambut tipis itu mengalami leukimia. Sebuah penyakit yang sewaktu-waktu akan memisahkan aku dan Sekala.
“Kemana nih, Sekala yang tangguh?”
“Hilang di makan buaya,” jawabnya ketus. Rasanya, aku ingin menarik tangannya dan mengajaknya untuk berkeliling kota hanya sekedar membujuk gadis itu agar mau menemui dokter.
“Gak mau sayang ... aku mau tidur aja ....”
“Besok aku janji deh, temenin kamu buat botakin rambut. Sekalian sama aku juga.”
“Ih kenapa ikutan sih? Gak usah tahu ... rambut kamu tuh bagus, fluffy. Masa dicukur habis?” Aku menatap Sekala yang kini menggembungkan pipi, gadis itu masih melayangkan tatapan memelasnya agar aku tak memangkas rambutku hingga habis.
“Biar kamu nanti di les-lesan ada temen, di kelas ada temen, jadi kamu gak usah malu.”
“Aku biar gini aja sih, kenapa harus dibotakin?” Aku terkekeh, mengusap kepala Sekala hingga beberapa helai rambutnya ikut turun mengikuti gerakan tanganku. Gadis itu tetap tersenyum, dan aku mau tidak mau harus ikut tersenyum agar ia tak membaca raut kesedihan di wajahku.
“Udah dibilangin jangan dielus, Dika ... ih kan mukanya gitu lagi. Ya udah deh besok botakin aja aku, daripada kamu nahan nangis gitu. Jelek soalnya.”
Hari berganti menjadi minggu, dan minggu berganti menjadi bulan. Namun kini aku berada di sebuah lorong rumah sakit dengan kaca pembatas yang membuatku hanya dapat berdiri sembari menatap tubuh putih nan mungil milik Sekala.
Sel itu sudah menggerogoti tubuh Sekala, membuat gadis hanya bisa terbaring dengan beberapa bantuan alat medis yang menompang kehidupannya. Dokter sudah mengangkat tangan, mereka tak bisa menahan dan memperpanjang umur Sekala. Hanya Tuhanlah yang kini bekerja untuk menentukan di mana akhir cerita kehidupan kekasihku.
“Andika, kamu lebih baik pulang saja. Besok sekolah kan kamu? Biar tante yang jagain.” Aku hanya mengangguk lesu, dan melambaikan tangan kepada Sekala yang sialnya, gadis itu justru membalasnya.
Tuhan, kalau memang dapat aku bertukar, aku ingin menukarkan hidupku kepada Sekala. Aku tak ingin membuat gadis itu terus menderita, aku tak mau ia harus memaksa untuk menarik bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman.
Namun Tuhan sang pemilik semesta ini sangat tak tertebak, Ia memang memulihkan Sekala. Namun, gadis itu tak dapat aku peluk, dan tak dapat aku lihat lagi senyumannya.
30 Januari 1987, semua kisah seorang Sekala Indhira telah selesai dituliskan oleh Tuhan. Sang tokoh utama itu telah Ia jemput untuk beristirahat abadi di kediaman-Nya di surga. Meninggalkan aku sendiri tanpa sebuah kata perpisahan.
Kisah ini membuatku tak berani untuk membuka hati, karena aku tahu bahwa hubungan ini tak berakhir. Gadis itu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal seakan-akan memberi tahuku bahwa ia akan kembali untuk menjemputku.