Aku Pulang
Renjana kini menatap satu persatu siswa yang pulang, entah menaiki angkot, bajaj, maupun menunggu bus kopaja yang akan lewat di halte depan sekolah.
Pandangan pria kecil itu berkabut, membuat dirinya segera mengucek mata agar tak menjadi cairan yang mengalir membasahi pipi.
Usianya tak lagi kanak-kanak. Namun pemikirannya dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan. Rasanya sangatlah berat untuk menopang semua bebannya sendiri.
Hingga sebuah tepukan lembut dan rangkulan datang dari arah belakang, membuat pemuda itu terlonjak dan segera menatap ke kanan dan kiri.
Waktu rasanya mulai melambat dan Renjana kembali menjadi manusia. Hanya Madava dan Naufal yang sukses melepaskan kekangan kedua orang tua mereka yang membelenggu Renjana.
“Gue pulang hari ini. Jadi kalian gak usah nangisin gue tiap malem.” Renjana tersenyum lebar, begitupula kedua kembarannya. Mereka saling memeluk dan melepas rasa rindu yang tak pernah tersampaikan.
Abhipraya menyadari bagaimana ikatan mereka bertiga ketika dirinya keluar dari mobil. Rasanya begitu hangat ketika ia melihat senyuman Renjana yang ia rampas tanpa izin.
“Renjana, Mada, Naufal. Ayo pulang,” ucap Abhipraya yang kini menarik ujung bibirnya. Kali ini, hanya untuk hari ini. Dirinya ingin menjadi ayah hebat untuk ketiga putranya.
“Pa? Mau kemana?” tanya Renjana yang sedikit kaku sebab dirinya jarang menyebut pria yang tengah mengendarai mobil itu dengan sebutan Papa.
“Rahasia.”
Mobil mereka terhenti di sebuah rumah toko yang berada di jalan Sultan Iskandar Muda. Membiarkan mereka bertiga untuk turun.
“Kak Ren! Ini toko alat lukis! Kakak ayo kita belanja!”
Renjana terdiam, tubuhnya seakan kaku dan takut untuk memasuki tempat yang tak pernah diberi restu oleh Abhipraya.
“Saya mau kamu tentuin perjalanan kamu. Jangan sampai gagal dan ke arah yang salah. Atau akan saya hukum kamu.” Renjana membulatkan mata, tak percaya dengan ucapan pria dingin nan keras kepala yang sama sepertinya.
“Beneran?”
“Kalau kamu bisa pertahankan nilaimu, saya akan belikan kamu alat gambar. Jika hancur, akan saya sita.”
Begitulah cerita Renjana yang selalu terkekang. Sang sulung yang dahulu membenci adiknya yang selalu dibanggakan oleh keluarga.
Arti kakak bukanlah semudah menjadi kakak dan mempunyai adik. Namun tentang bagaimana seorang Renjana yang menjadi tameng dan melindungi kedua adiknya agar semesta yang begitu jahat tak pernah menyakiti mereka.
Karena kakak dilahirkan menjadi kuat oleh keadaan, membiarkan tangisan keluar ketika semua orang terlelap, dan menjadikan harapan serta pedoman oleh banyak orang.
Dan itu, yang Renjana Galih Antareksa pelajari.
Bahkan semenjak itu, dirinya mengurung diri di dalam rumah, tak pernah berkelana bahkan yntuk ke rumah Jazzier. Dirinya harus menjadi kompas untuk kedua adiknya yang terkadang sering tersesat.