Angkringan, Waria, dan Telur Puyuh

Bagas memarkirkan motor yang ia pinjam dari Dirgantara, di sebelah motor sang Kakak yang tak pernah ia pakai sama sekali karena malas. Namun untuk kali ini, ia harus membiarkan motor itu terpakai untuk satu kali saja.

“Ayo. Jadi gak?” Bagas membuka pintu unit apartemen dan langsung masuk begitu saja ke kamar untuk mencari sebuah kunci motor. Membuat Arga muncul begitu saja di daun pintu kamar mandi dengan sikat gigi yang berada di dalam mulut.

“Ke mana?” tanya Arga dengan suara yang tidak jelas karena mulutnya yang penuh dengan busa pasta gigi. Yang langsung saja pemuda itu keluarkan di wastafel kamar mandi setelah merasakan sensasi menthol yang sangat menyiksa lidah.

“Kepo. Ikut aja, lo bawa motor Bang Jona. Ngikutin gue dari belakang.” Bagas melempar kunci motor dengan gantungan kunci beruang itu kepada Arga, lalu langsung keluar dari unit apartemen dan diikuti dengan Arga dengan sebuah jaket bomber di lengan.

Yes, vespa!” sorak Arga ketika melihat sebuah motor Vespa P125X berwarna kelabu di depannya. Namun seketika makin berubah menjadi semakin antusias ketika Bagas membuka salah satu penutup motor dan berkata bahwa ini motor yang Kakaknya pakai. Sebuah Honda CB100 yang sama seperti milik Dilan di film Dilan 1990.

“Gila, abang lo yang punya?”

“Iye, dia dulu pakai ini buat nganterin pacarnya. Terus kandas aja gitu hubungannya, ya udah tuh motornya dianggurin aja di sini kaga dibawa balik Jakarta.” Bagas langsung men-starter motor Vespa dan menungganginya. Begitupula Arga yang masih amazed dengan motor impiannya itu.


“Ini udah jam dua belas, Ga. Jalanan agak sepi. Enak kalau nanti balapan gimana pas baliknya?” teriak Bagas yang bertanya kepada Arga.

Pemuda itu hanya mengacungkan ibu jari dan langsung mengikuti arah Bagas yang kini memarkirkan motor di salah satu angkringan di daerah Pasar Kembang.

“Lo harus cobain makanan sini, Ga. Minimal telur puyuhnya.” Bagas berjalan mendekati gerobak dan sesekali menyapa penjual dengan ramah.

“Minta es susu coklat satu. Arga! Mau apa lo?”

“Samain aja, ini telor puyuh mana? Oh ini.” Arga mengambil dua tusuk telur puyuh dan menaruhnya di atas piring. Lalu menghampiri Bagas yang kini mengambil sebuah nasi bungkus.

“Nasi bandeng, mau?” Arga menggeleng dan langsung mengambil sebuah sate usus dan menatap kepada penjual yang asyik menghitung total makanan seseorang.

“Mas, ini bisa dibakar?”

“Bisa, Mas. Sebentar, nggih.” Pedagang itu mengambil satu piring yang Arga bawa dan memberikan piring itu kepada rekannya yang berada di depan tungku.

“Nanti Mas'e duduk di mana?” Bagas langsung menjelaskan tempat yang Arga tidak ketahui dan langsung membayar semua makanan yang telah dia dan Arga ambil beserta minuman.

“Di mana sih, Gas?” Arga berjalan mengikuti langkah Bagas. Hingga mereka berada di depan sebuah rumah toko yang telah tutup. Di pelatarannya, terdapat sebuah tikar yang telah digelar. Membuat pemuda itu langsung duduk bersila.

“Sini nih posisi yang paling seru, Ga. Beda sensasinya sama kalau lo duduk di depan sana.” Tepat sekali setelah Bagas berkata, seorang waria datang menghampiri mereka sembari bernyanyi-nyanyi.

“Mbak, kenalan sek ki. Karo cah Jakarta,” Arga langsung panik ketika Bagas berkata seperti itu karena pria yang berdandan layaknya wanita tersebut mulai menggoda Arga. Sedangkan sang pelaku hanya tertawa terbahak-bahak sembari mengeluarkan sebuah uang di dompet.

“Mbak, suwun yo,” Arga menyalami pria itu dengan sebuah uang lima puluh ribu terselip di tangan, hitung-hitung ucapan terima kasih karena telah menghibur dirinya serta Arga.

“Lo gila, ya?” Arga memaki dan melayangkan sebuah toyoran kepada Bagas. Ini pertama kalinya, seorang Arga Maharu Awu didekati oleh seorang waria.

“Ya makanya, punya muka gak udah sok kegantengan. Mamam noh ditaksir waria. Gue denger-denger ya, Ga. Waria sini pada suka godain cowok ganteng.” Bagas tertawa dan membuat Arga melayangkan kembali sebuah pukulan di lengan pria berkulit kecoklatan itu.

Hingga seseorang mengenakan kaos hitam membawakan pesanan milik Arga dan Bagas yang langsung saja mereka santap selahi hangat.

“Gila nih telurnya enak. Berapaan ini, Gas?”

“Dua setengah kalau ga salah setusuknya. Kenapa?” Arga langsung berdiri begitu saja dan berjalan mendekati gerobak. Meminta kepada sang pedagang dan kembali setelah membayar seluruhnya.

“Beli apaan lagi, Ga?”

“Telor lah.” Hingga sebuah piring penuh, kira-kira berisi dua puluh tusuk sate dengan empat telur puyuh di setiap tusuknya tiba. Membuat Bagas tercengang bukan main.

“Tadi senampan gue beli semua. Ha ha ha.”

“Asli nih anak gila.”