Bubble Gum
“Na, mau?” ucapnya sembari menyodorkan kepadaku sebuah permen karet. Namanya Zidane, sahabatku dari kecil.
“Gila kali gua nolak penawaran langka ini. by the way ya Ji, masih inget ga lu sama pertemuan pertama kita?” Zidane mencoba untuk memikir, mengingat kembali kejadian saat itu dan kami terbawa kembali di masa itu.
Sebelas tahun yang lalu
[ Zidane POV ] Saat itu aku tengah berumur kira-kira delapan tahun. Tengah menikmati udara sore yang sangat sejuk setelah terguyur hujan kurang lebih satu jam lebih. Tanganku memegang sebuah penangkap capung dan mulutku tengah asyik mengunyah sebuah permen karet yang setiap kali aku meniupnya akan menciptakan sebuah balon berwarna merah muda yang indah.
Namun di tengah perjalananku menuju ke kali untuk menangkap capung, aku melihat seorang gadis sedang terduduk di bawah pohon besar, mengenakan sebuah baju berwarna putih dan ketika aku mengahmpirinya ia tengah menangis.
“Eum ... permisi, k-kamu mau permen?” ucapku sembari menyodorkan premen karet yang aku kantongi tadi. Gaadis itu tersadar dan ia menatapku malu. Ia menerima permen karet itu dan mengunyahnya, sedangkan aku mengurungkan niatku untuk pergi berburu capung dan memilih untuk menemani gadis itu berbicara dan bercerita tentang dirinya.
Namanya Na, dia gadis yang baru saja melarikan diri dari rumah barunya atas perintah sang Bunda. Katanya sih akibat sang ayah datang dan hendak mengajaknya pergi ke Jerman. Aneh bukan? Tapi aku tidak tahu bahwa sang Ayah akan membawanya pergi dari sang Bunda. Ia tidak tahu mau kemana dan akhirnya memilih untuk duduk di sini lalu menangis karena memikirkan keadaan Bundanya.
“Harusnya aku ga usah lahir aja ya ... Jadi Ayah sama Bunda ga rebutan aku,” ucapnya polos. Aku jadi tambah bingung kenapa gadis ini memiliki pemikiran terlalu dewasa, bukannya dia masih berpikiran untuk bermain sepertiku?
Sampai cerita itu berhenti dan siang berganti sore. Bundanya datang dan berkata bahwa ia mencari putrinya itu di seluruh komplek. Ia pergi dan sebelum dia pergi, dia berkata kepadaku.
“Zidan, nanti kalau sudah besar kita pacaran saja yuk. Na sayang sama Zidan.” Setelah ia mengucapkan hal itu, dia pergi dan aku tidak pernah menemukannya lagi. Aku mendengar dari Mama bahwa Na telah pindah keluar kota.
Sampai aku menginjakkan kaki di SMA. Aku menemukannya, gadis dengan ikat rambut pitanya yang khas dan senyumannya yang manis. Berdiri sebagai perwakilan calon peserta didik baru. Semenjak itulah aku mencoba menghubunginya dan ya, kita berteman hingga saat ini.
“Oh ... inget gua, yang lu nangis di pohon itu kan?” tanya Zidan sembari menunjuk sebuah pohon di seberang jalan. Pohon itulah menjadi saksi pertemuan pertamaku dengan Zidan.
“Ih kaga ye, gua cuma tidur pas itu,” elakku yang dibalas dengan senyumannya yang sangat mengesalkan itu. Iya turun dari gazebo dan mendekatiku lalu membisikkan suatu kata kepadaku dengan suara beratnya yang khas.
“Gua juga mau nagih janji gadis kecil itu. Katanya sebelum pergi ... mau jadi pacar gua pas udah gede, dan gua mau menagih itu. Jadi, mau tidak jadi pacar seorang pria yang dulunya nemenin elu seharian sambil makan permen karet sama bawa raket buat nangkep capung?”
© hvangrcnjun ; 2021