Butterflies

Langkah gontai gadis itu memasuki ruangan yang sering ia pakai untuk beristirahat. Sebuah ruangan yang cocok ia sebut sebagai “barak” -nya para dokter magang seperti gadis bernama Joanna Karolina.

Muter lagu dulu deh, batin Anna yang kini berjalan menggunakan kedua kakinya yang lelah—Maklum, dirinya termasuk kaum jompo untuk berlari-lari di dalam UGD setiap hari—mendekati meja yang penuh akan buku-buku kedokterannya. Gadis itu memutar vinyl yang masih terpasang di pemutar, hingga lagu yang tak asing di telinga kini terputar dan memberikannya ketenangan.

“Gak salah suka lagu All We Know.” Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas kursi, membiarkan indra pendengarannya menangkap setiap lirik lagu itu dengan jelas. Hingga matanya kini menangkap sebuah buku berwarna ungu, dengan sampulnya tergambar dengan jelas seekor kupu-kupu dan rumah yang sangat menenangkan.

“Ini buku Elion kenapa di sini?”

Iya, itu buku Butterflies yang ditulis oleh seorang penulis terkenal di Twitter. Buku yang Elion beli tanpa sengaja saat pre order pertama yang terkenal sebagai pre order mematikan.

Awalnya Anna terheran, kenapa pria semaskulin Elion Ferdinan sangat menyukai buku cerita fiksi, apalagi yang bergenre romansa. Berbanding terbalik dengan dirinya yang suka akan sesuatu yang menegangkan dan menyeramkan seperti cerita thriller maupun horor.

“Alasannya simple, Ann. Gue gak pernah tahu apa itu romansa. Mama apalagi Papa itu sibuk sama dunianya masing-masing bahkan jarang bertegur sapa barang di kamar sekalipun. Jadi novel romansa yang bisa gue andelin buat gue mengetahui kehidupan romansa sebenarnya, sebelum akhirnya gue ketemu elo.”

Begitulah penjelasan Elion pada enam tahun lalu, ketika dirinya menemukan pemuda itu tengah membaca salah satu karya populer milik Erisca Febriani di pojok kelas.

Elion sangatlah suka novel romansa, bahkan di apartemen pemuda itu dapat ditemukan satu rak yang penuh akan novel romansa dari berbagai bahasa di seluruh penjuru dunia.

Namun, buku yang baru benerapa tahun lalu pemuda itu beli tanpa sengaja ini, justru memiliki sebuah sihir untuk dirinya dan Elion.

Elion sangat sering membawa novel bersampul keras itu kemana saja, menemani dirinya, ponsel, dan jurnal yang selalu pemuda itu bawa untuk syuting drama.

Hingga akhirnya, Elion menangis satu malam dan meratapi karirnya yang hancur, buku itu setia menemani pemuda itu.

“Elion nyariin ini buku gak ya? Kan ini jimatnya ....”