Cakra Buana
“Gue inget semuanya. Gue inget gimana gue bisa lupa sama nama gue dan alasan kenapa gue sangat suka sama nama Kazuko yang lo kasih.”
Bonnie menoleh, menatap tubuh transparan Kazu yang nampak begitu kelabu. Dalam genggamannya masih memegang sebuah ponsel yang menampilkan foto Kazu dengan nama aslinya, Jigme Raditya Buana.
“Jigme ... jadi itu nama lo, Kaz?” tanya Bonnie perlahan.
“Gue dibuang dari keluarga Buana. Mereka semua berisikan anak-anak berintelektual, masuk di perguruan tinggi terpopuler, pandai sosialisasi, dan pastinya mereka semua rupawan. Setidaknya sebuah kesempurnaan adalah hal yang mereka dapatkan.”
“Terus kamu kenapa, Kaz?” Bonnie mulai melunak, bahkan gadis itu bergeser tempat duduk dan semakin dekat dengan Kazu yang setia menatap kosong rerumputan yang menembus.
“Hari itu ... hari peluncuran novel. Bersamaan dengan acara Cakra Buana, itu acara untuk merayakan ulang tahun Kakek. Mereka semua membicarakan tentang pendidikan mereka, kecantikan maupun ketampanan mereka seolah-olah membangun sebuah standart penilaian. Sialnya, orang itu juga turut andil untuk menjadi juri kehidupan seseorang. Dia menilai gue sebagai sebuah sampah.”
Bonnie mengerutkan dahi. “Orang itu?” tanyanya.
“Papa. Dia orang yang berkata bahwa gue adalah sampah di keluarga Buana hanya dengan berkhayal dan menulis cerita.”
“Sayang, jangan katakan hal itu ....” Mama menarik lengan pria dalam balutan jasnya yang begitu mewah. Ia terus-menerus memaki dan menoyor kepala Jigme tanpa ampun. Tetapi pria yang sudah digelapkan oleh sebuah validasi hanya dapat menangkis tangan istrinya dan menghampiri pria bertubuh tinggi itu untuk ia jadikan samsak sebuah tamparan yang tak bertuan.
Jigme terhuyung, ia merasakan bagaimana panasnya pipi yang memerah dengan cap tangan Papa. Pemuda itu langsung beranjak dari ruangan, membiarkan Papa berteriak memanggilnya sebagai anak tak punya etika.
Ia menghampiri motor besarnya, menunggangi kendaraan itu dan mulai melajukan motor dengan cepat meninggalkan Mama yang nampak dari pintu basement dan memanggilnya untuk kembali.
“Terus gue kecelakaan di depan kampus ini. Gue nabrakin diri ke pohon yang ada di pinggir jalan dengan kecepatan tinggi.” Kazu terkekeh, ia menatap tangannya dan kini melanjutkan ucapan, “Gue kira ... dengan gue mengakhiri hidup, semua masalah hidup gue teratasi. Setidaknya gue bisa keluar dari lingkaran setan yang membelenggu gue.”
Bonnie memeluk Kazu, walaupun gadis itu nampak seperti memeluk sebuah angin tetapi Kazu hanya tertawa dan menenggelamkan diri di dalam pelukan semu milik Bonnie.
“Kenapa kamu gak bisa keluar dari lingkaran setan? Bukannya kamu sudah me—”
“Gue masih hidup, tubuh gue masih ada di rumah sakit tapi koma,” tukas Kazu yang membuat Bonnie terbelalak, baru pertama kalinya ia melihat hantu dari seseorang yang koma di rumah sakit.
“Bisa kasih tahu rumah sakit mana?”