Dendam yang Tak Tertahankan

Pria bertubuh mungil itu berjalan keluar dari rumah sederhana yang telah ia tempati sejak libur kenaikan kelas hingga memasuki tahun awal dirinya di bangku akhir SMP.

Pemuda itu memang kembali menghindari Naufal. Namun tak semerta-merta tanpa alasan. Semenjak kasus yang naik di salah satu base julid sekolah, Naufal dan dirinya mengalami masa yang cukup sulit. Hingga ia beberapa kali diberi kabar oleh Madava jikalau terdapat beberapa memar di tubuh Naufal setelah mengalami penuruan akademik yang drastis.

Senyum pria kelinci itu hilang begitu saja dan Renjana sangat membencinya.

Maka dari itu, Renjana memilih untuk memperpanjang masanya menginap. Karena jujur, pemuda itu tak sanggup melihat kondisi sang Adik. Namun hanya kali ini, pemuda mungil itu sangat yakin untuk kembali. Renjana harus menyelesaikan masalah ini.

“Renjana! Gue anterin aja!” suara teriakan Jazzier dari dalam rumah tak membuat pemuda itu berhenti. Ia melihat ada seorang tukang ojek yang tengah nongkrong santai. Membuat pemuda itu langsung menghampirinya dan menepuk bahu pria yang tengah memejamkan mata itu dengan lembut.

“Bisa antar saya? Nanti saya kasih tahu tempatnya.”


Kaki Renjana kini berpijak sebuah gedung perkantoran yang sangat terkenal. Banyak sekali karyawan berwira-wiri dengan beberapa berkas di tangannya.

“Selamat sore, Dek. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya Renjana Antareksa. Hendak bertemu Abhipraya Antareksa,” jawab Renjana dengan cepat ke resepsionis yang menyambutnya dengan ramah. Dengan segera, wanita itu mengarahkan Renjana menuju lift untuk ke kantor Abhipraya yang ada di lantai lima puluh.

Entah mengapa, Renjana sangat gelap mata saat ini. Seluruh dendam yang ia pendam seakan mencuat keluar untuk meminta pertanggung jawaban.

Renjana berjalan menyusuri lorong yang dipenuhi dengan karyawan yang tengah sibuk. Menuju ke sebuah ruangan yang ada di ujung sana.

“Saya mau bicara empat mata sama Anda, Abhipraya.” Renjana menutup pintu perlahan, lalu menutup satu persatu tirai yang ada agar karyawan yang tengah lembur itu tak memindahkan atensi kepada mereka.

“Saya itu Papa kamu. Berlakulah yang sopan.”

“Bagaimana saya bisa memanusiakan Papa saya, jikalau dirinya sendiri tidak pantas untuk disebut Papa oleh saya?” Abhipraya bangkit dan mencengkram erat kaos yang Renjana kenakan. Sangat kencang, hingga tubuh mungil setinggi dagu Abhipraya itu justru terdorong ke belakang.

“Alasan Anda klasik. Mengatakan anak bodoh dan tolol agar mereka maju secara akademik. Tutup mata tentang non-akademiknya yang justru melambung.” Renjana berusaha untuk memberontak dan lepas dari cengkraman sang Papa. Namun mustahil! Dirinya kurang kuat untuk mendorong pria itu.

“Anda boleh kok lakuin itu ke saya. Anggap saya binatang jalang yang selalu kamu kekang. Tak boleh membantah perintah. Tapi tidak untuk dia.”

“Dia? Dia siapa?”

“Adik saya.” Akhirnya Renjana dapat mendorong Abhipraya mundur dan dengan segera pemuda itu mengeluarkan senjatanya yang ia simpan di dalam tas ransel.

“Tentang Naufal yang menerima caci maki di sekolah.” Renjana melempar sebuah kertas yang telah di staples dengan rapi. Kertas itu berisikan tentang Naufal yang dihujat secara virtual dan lengkap dengan data sang pelaku yang telah dirinya dapatkan dengan bantuan Jazzier.

“Tentang usaha Naufal yang selalu Anda ludahi.” Naufal melempar kembali satu bundle kertas yang berisi foto-foto usaha Naufal yang diam-diam ia simpan, beserta foto bukti cerita Madava selama kepergian Renjana dan foto beberapa luka dan memar di tubuh Naufal.

Renjana membuka ponselnya, dan langsung memutar rekaman panggilannya bersama Madava.

“Terakhir, tentang upaya Madava yang selalu Anda abaikan.”

Suara terputar dengan jelas. Bagaimana Madava yang menangis di panggilan setelah menerima pukulan sang Papa setelah meminta bantuan untuk Naufal.

Gue gak bisa, Bang. Papa keras, gue gak bisa. Menurut dia, itu bukti kalau Naufal sama gue itu memang bego. Dan kita ya udah, belajar terus.” Suara rekaman itu berhenti, dan membuat Renjana melipat tangan sembari menatap Abhipraya.

“Bagaimana saya bisa memanusiakan manusia, jikalau dirinya tak bisa memanusiakan buah hatinya?”