Dewasa

Renjana terbangun dari tidurnya, menatap kedua saudara kembarnya sembari tersenyum.

Hari ini tanggal 23 Maret 2020. Tahun inilah, dirinya menginjakkan kepala dua. Pemuda itu berjalan menuju jendela kamar, membukanya perlahan dan keluar menuju atap rumah. Tempat di mana ia selalu merenung dan lari dari kenyataan yang mengejarnya.

“Selamat ulang tahun, Renjana.” Air mata mengalir begitu saja membasahi pipi dan langsung pemuda itu usap agar tak menunjukkan bekas alur. Rasanya, semesta sepertinya kurang berpihak kepada dirinya.

Pemuda itu menarik napas, memenuhi seluruh rasa sesak di jiwa dengan oksigen yang cukup tipis. Namun, justru isakan makin menjadi dan membuat ia meringkuk layaknya anak kecil.

Dahulu, ia ingin sekali segera menjadi dewasa dan menjadi seorang pelukis. Namun semakin ia bertambah usia, semakin ia menjadi pengecut.

Kekangan dari kedua orang tua dan posisinya yang menjadi tertua, cukup membuatnya terikat. Berbeda dengan kedua saudara kembarnya yang bebas menentukan langkahnya.

“Galih! Kamu harus masuk IPA.”

“Apa-apaan ini, Galih?! Apa gunanya Papa sekolahkanmu tinggi-tinggi!”

“Papa kecewa sama kamu, Galih.”

Menjadi dewasa cukup menyakitkan untuk seorang Renjana. Kekecewaan, kebebasan, dan kebahagiaan seakan-akan direnggut tanpa diberi satupun bagian.

Renjana menengadah, menatap langit gelap Jakarta yang penuh dengan gemerlap bintang. Lalu bermonolog, “Renjana Galih Antareksa. Mungkin kamu masih terjebak di ekspetasi pelik orang tuamu. Namun, aku tahu. Diri ini kuat, iya kan?”

Renjana memukul dadanya kencang, dan berusaha menghilangkan rasa sesak yang kian bergejolak.

“Psst! Psst!” Renjana menoleh. Ia terkejut dengan kehadiran Naufaludin yang kini berada di jendela dan tersenyum lebar.

“Bang Galih gak usah sedih gitu. Mana nih sifat Janna yang bar-bar?” Renjana mengusap air matanya yang basah dengan punggung tangan. Pemuda mungil itu terkekeh lalu bangkit dan berjalan perlahan mendekati jendela dan masuk.

Di sanalah ia bertemu dengan kedua orang tuanya yang kini berdiri di depan pintu dengan dua buah kue, satu untuk Renjana dan satu lagi untuk Madava—karena Naufaludin baru merayakan ulang tahunnya besok.

“Papa minta maaf ya sama kamu.”

“Sini permatanya Mama.”

Renjana langsung memeluk Riska sang Mama. Entah mengapa, pertahanannya kini kian runtuh dan ia menjadi anak berusia lima tahun yang terlepas dari pengawasan orang tuanya.

“Mama dan Papa sering marah bukan karena kami tidak sayang kamu. Justru, ini kami lakukan karena begitu sayang pada kamu. Mama dan Papa ingin lihat kamu lebih dewasa, lebih mandiri, dan lebih bertanggung jawab sama hidup kamu.” Wanita itu mengusap puncak kepalanya dengan salah satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain berusaha memberikan kue ulang tahun kepada Naufaludin agar tidak terjatuh.

“Tidak selamanya kami memdampingi kamu, melindungi kamu, menjagamu, dan membantumu. Kami ingin melepasmu dengan tenang. Terus terang, kami tidak ingin lihat hidup kamu jadi kacau,” tutur Riska yang membuat Renjana kian sesenggukan.

“Udah, Galih. Sekarang tiup lilinnya.” Renjana melepas pelukan, mengusap kembali air matanya dan meniup lilin bersama Dava.