Dibohongi

Abhipraya mengendarai mobilnya yang telah terpasangi GPS milik Segara mulai memasuki basement tempat janjian mereka. Di dalam hatinya, pria itu selalu merapalkan doa agar masalah ini cepat usai dan ia dapat kembali ke rumah membawa si sulung.

Namun apa? Hanya sebuah basement sepi yang tak ada satupun orang hingga ia sampai di parkiran blok G. Tak ada satupun tanda-tanda bahwa ada orang di tempat itu.

Gimana, Bhi? Ada orang?” tanya Segara melalui earphone yang ia kenakan secara sembunyi. Pria itu menjawab lirih pertanyaan Segara dan mulai membuka pintu mobil perlahan-lahan.

Hati-hati, Bhi. Jangan gegabah.” Abhipraya menelan ludahnya, menatap seluruh penjuru parkiran dengan sangat teliti. Kemampuannya dalam menganalisa lingkungan sangat bekerja sempurna, membuat pria bertubuh jangkung dan sedikit berotot itu berlagak santai sembari waspada.

Hingga sebuah pesan singkat memasuki ponselnya.

Kamu berbohong, Abhipraya! Apa maksudmu membawa pasukan berseragam itu? Kamu tidak sayang anakmu kah?

“Gar, lo bawa polisi berseragam?” tanya Abhipraya pelan dan dijawab dengan Segara bahwa tak ada satupun orang yang berseragam ikut bersama mereka.

Sebuah pesan menyusul, meminta pria beranak tiga itu untuk berpindah lokasi ke halte bus yang berada lumayan jauh dari posisinya saat ini.

Segara menuruti kemauan sang penculik, memutuskan untuk Abhipraya meninggalkan lokasi dan menuju ke tempat dimana menjadi titik temu sang penculik.

Namun lagi dan lagi, mereka dibohongi oleh sang penculik. Orang itu terus menerus berpindah tempat, bahkan polisi tak mampu untuk mendeteksi di mana sang penculik itu berada karena ponselnya terus menerus tak aktif.

Hingga waktu telah menunjukkan pukul lima pagi. Namun pria itu tak kunjung mendapatkan sang putra.

Segara yang berada di seberang, mulai menghampiri mobil Abhipraya. Pria itu mengetuk kaca mobil dan Abhipraya mempersilakan Segara untuk masuk.

“Balik aja yok. Susah kalau pagi gini, Bhi. Mungkin kali ini kalian semua di rumah dulu aja. Termasuk anak-anak lo yang lain.” Abhipraya menggeleng, mengambil segelas kopi yang telah dingin terpapar AC mobil, lalu meneguknya.

“Gak bisa gue, Gar. Gue hari ini ada meeting sama client penting. Si Riska juga dia dokter. Gak bisa asal izin. Rumah kosong.”

Segara mulai memutar otak, lalu teringat sang putra satu-satunya yang cukup dekat dengan keluarga Abhipraya.

“Anak-anak lo biar dijagain Jazz aja. Gimana?”

Abhipraya mulai memikir. Pria itu ingat bahwa Jazzier, putra Segara menyabet sabuk hitam taekwondo serta mahir dalam beberapa senjata dan satu lagi, ia juga ingat bahwa Jazzy sangat dekat dengan ketiga anaknya. Hal itulah membuat Abhipraya yakin dan menyetujui permintaan Segara.

“Bentar gue chat Jazz dulu.”