Dunia milik berdua

Beginilah mereka saat ini, berjalan menyusuri jalan Honggowongso yang tak terlalu padat maupun terlalu sepi sebab malam Minggu.

Rara hanya menatap bahu lebar Arga yang kini terlingkar sebuah tas selempang. Pria itu tak memakai jaket maupun pakaian yang menutupi dirinya dari dingin. Sehingga membiarkan kaos hitam yang ia kenakan kini bergerak kesana-kemari hasil tiupan angin.

Arga menatap wajah Rara dari kaca spion. Tanpa pemuda itu sadari, sebuah senyuman tercipta di wajahnya.

Dan Arga langsung menarik tangan Rara. Menuntun tangan gadis itu untuk melingkar di pinggangnya. Hingga sang hawa hanya terkejut bukan main.

“Ng-ngapain?”

“Gue mau ngebut. Bentar lagi nyampe sih,” ujar Arga yang kini mulai menarik gas dan menambah kecepatan. Membuat gadis itu reflek memeluk erat tubuh Arga dan mencium aroma parfum Spalding yang menguar begitu saja.

Dunia entah mengapa menjadi lambat ketika mereka berada di atas motor. Kota Surakarta memanglah unik, membawa rasa berbeda di setiap sudut kota. Hingga motor yang mereka tunggangi kini terparkir di pelataran suatu rumah toko. Rara langsung turun dan melepas helm. Matanya kini menatap perempatan jalan yang sedikit ramai sebab lampu merah dan di seberangnya, terdapat sebuah pasar yang telah tutup.

“Gue masih bertanya-tanya, Ga. Ini deket banget ... dan kenapa ... lo harus ngajak gue.” Rara menatap pria yang baru turun dari motor. Entah mengapa, ini pertama kalinya seorang Arasha Ragita melihat pria yang mengenakan pakaian casual itu melepaskan masker yang menutupi wajah untuk menyulut sebuah rokok.

“Lo gak apa-apa kan kalau gue ngerokok?” tanya Arga yang dibalas dengan anggukan Rara. Gadis itu tak mempermasalahkan apapun tentang Arga. Mau dia mabuk, mau dia ngerokok, atau mau dia balapan liar sekalipun, gadis itu tak peduli. Selagi hal itu tidak membahayakan dirinya.

“Oke deh. Buruan sini.” Arga mengulurkan tangan. Mengajak gadis itu mendekati sebuah gerobak angkringan yang sangat baru untuk dirinya.

“Mas, telur puyuhnya cuman ini?”

“Iya, Mas cuman ini. Eh, ini Masnya yang dulu pernah borong telur puyuh bukan sih?” Arga hanya menyengir sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Membuat Rara hanya bertanya-tanya dengan masa lalu Arga.

“Lo ambil aja, Ra. Gue bayarin.” Rara segera mengambil beberapa makanan yang ia kenali dan menaruhnya di atas piring plastik berwarna oranye.


“Oh iya, pertanyaan lo belum gue jawab,” Arga menatap Rara setelah mendapatkan tempat lesehan. Pemuda itu menatap Rara secara intens, hingga sebuah suara musik sangat keras datang dari jalan raya. Mendekati Arga dan Rara yang kini langsung menoleh.

Arga sebenarnya masih agak takut setelah kejadian silam yang ia alami karena ulah Bagas. Hingga ia tanpa sengaja mengenggam tangan Rara dan memberikan jawaban kepada perempuan itu, mengapa seorang Arga Maharu Awu meminta dirinya untuk ikut.

“Jadi lo takut sama waria, Ga?” Arga langsung terlonjak dan melepas tautan. Menatap Rara sembari meraih sebuah sate telur puyuh untuk ia makan.

“Gue dulu dikerjain sama Bagas pas di sini. Digelendotin sama waria.” Rara tertawa, tawanya sangatlah kencang hingga beberapa pasangan yang tengah berduaan juga menatap mereka.

“Ga, mereka juga manusia. Mereka kayak gini juga karena gak ada pilihan. Sama kayak lo jadi penulis lagu, leader band, gitaris. Mereka juga kayak gitu, Ga.” Kata-kata itu cukup singkat, namun membuat Arga sedikit tersentuh.

“Tumben lo bijak gini, Ra?” sindir Arga sembari menyeruput es teh manis. Yang berakibat dirinya menerima sebuah cubitan di pinggang.

“Makanya jangan rese. Udha yuk balik. Gue mau tidur, besok mau ke Gramedia. Mau hunting novel.”

“Gue temenin?”

“Gak usah. Yang ada lo keluarin kartu debit lagi ... ogah gue.”

“Spesial, buat elo. Kapan lagi kan gue bayarin?” jawab Arga yang kini bangkit dari duduk dengan sebuah risol mayo yang ia gigit.