Foto Samudera

Motor yang mereka tumpangi mulai memasuki perumahan elit. Tepat di dua blok setelah gerbang di mana rumah Samudera yang berarsitektur khas kolonial Belanda dengan berbagai perombakan serta penyesuaian berdiri begitu megah dan asri.

“Baru sadar kalau rumahmu juga gak kalah bagus. Oh iya, itu kaca ruangan apa?”

Samudera mendongak, menatap sebuah ruangan yang memang di desain penuh dengan kaca jendela yang tertutup tirai, “Kamar saya. Mau mampir sebentar?”

“Boleh.”

Kaki kedua pasangan itu melangkah menyusuri lantai parkiran mobil, membuat Cassiopeia terpana akan setiap mobil impiannya yang terparkir apik di sana. Sedangkan Samudera justru menghampiri sebuah burung hantu mungil yang ada di dekat pintu masuk.

“Owel ... tidur mulu kamu Owel ....” Samudera menguyel-uyel burung muda itu dan menarik perhatian Cassiopeia. Ia menghampiri Samudera dan langsung gemas akan burung nokturnal itu sampai-sampai ikut memegang, mendahului Samudera yang hendak mewanti-wanti.

“Aduh! Kok gigit ....”

“Baru juga saya mau bilang, dia kalau siang gini suka galak. Enggak berdarahkan tapi?” Cassiopeia menggeleng kecil, ia menunjukkan jari telunjuknya yang tadi digigit oleh burung hantu milik Samudera dengan cengiran yang benar-benar seperti anak kecil.

“Namanya Owel, ini burung jenis Celepuk Reban. Dulu saya nemuin ini jatuh dari pohon kelapa. Kasihan, induknya kabur, saudaranya mati. Dulu dia satu genggaman saya. Mau lihat fotonya?” Samudera mengeluarkan ponsel, membuat Cassiopeia mendekat untuk melihat foto burung hantu yang Samudera maksud.

“Lucu banget!” ucap Cassiopeia tatkala melihat foto tangan Samudera yang membawa burung hantu itu. Sangat kecil bahkan cukup menggemaskan.

Kaki mereka terus melangkah menaiki tangga untuk masuk ke dalam rumah dan sepanjang mata Caddiopeia memandang, ia tak pernah menemukan satupun foto masa kecil Samudera. Padahal ia ingin mengulik semua cerita masa kecil Samudera.

“Foto masa kecil saya hampir kebanyakan dulu sama Papa. Mama gak terlalu suka soalnya. Jadinya gak pernah dipasang,” jelas Samudera seakan membaca pikiran Cassiopeia. Wanita itu hanya terkejut lantas tersenyum dan lanjut mengikuti langkah Samudera menyusuri anak tangga yang penuh dengan foto-foto masa remaja Samudera.

Sampai akhirnya ia sampai di depan pintu kamar Samudera yang berada tepat di ujung lorong, pintu itu sangat minimalis, dengan sebuah papan tulis hitam tergantung di pintu bertuliskan nama panggilan rumah pemuda itu. Ia membukanya dan disambut dengan aroma citrus, powder, dan woods yang begitu menyegarkan.

Kamar Samudera dibilang cukup luas, dengan komputer serta tiga monitornya serta satu lemari penuh akan kamera-kamera membuat Cassiopeia terpana untuk kesekian kalinya.

“Gak disangka, anak sepintar Samudera Timoer hampir gak ada buku terpampang di meja,” sindir Cassiopeia yang membuat Samudera tertawa. Pemuda itu tengah membuka lebar tirai besar yang membuat Cassiopeia dapat melihat begitu jelas keindahan kota.

“Satu jam sepuluh ribu,” celetuk Samudera yang membuat sang kekasih menatap balik dirinya dengan sinis lantas menutup tirai dan mengomel ngambek, “Ya udah deh, langsung ke rumah aja. Kita ambil tas anggarku.”

“Saya ganti baju dulu. Kamu mau disini terus?” goda Samudera yang membuat Cassiopeia langsung keluar kamar. Ya kali dia harus melihat pemandangan Samudera yang baru berganti pakaian. Mending ia berjalan-jalan melihat isi rumah minimalis itu sendirian.