Ghibah

“Ini fans maneh kenapa freak semua sih?” Bagas menatap layar ponselnya sembari jemarinya yang aktif menjawab setiap auto base sekolah mencuitkan sebuah pujian kepada Arga karena tampangnya yang nampak seperti bule.

“Iri mah bilang aja, ayo bilang. Gak usah ngomel,” cibir Renjana yang duduk di sebelah kiri Bagas sembari mengusap punggung pemuda berkulit coklat itu.

“Gak gitu juga, setan!” Bagas mengepalkan tangan dan bersiap untuk bertempur dengan Renjana namun langsung pemuda itu urungkan setelah kehadiran Hendrian dengan guitalele kebanggaannya yang penuh dengan stiker berbagai macam clothing brand dan  oleh-oleh dari acara DBL yang selalu ia kumpulkan.

“Oh ibu Larassss ... I really love you ... turunkan harga es tehmu kasihkuuuu.” Hendrian terus bernyanyi dan menggenjreng guitalele. Tujuannya hanyalah untuk meminta ibu Laras, pemilik kantin langganan mereka berlima untuk menurunkan harga es teh yang kian naik.

“Ga, lo tahu Chesna abas kaga?” Pemuda berambut ikal dengan bando sirkam itu memulai pembicaraan, tujuannya hanyalah satu. Apalagi, kalau bukan meng-ghibah.

Namun sangat sayang sekali permisa, pria bule yang memakai seragam OSIS dengan pin OSIS di krahnya itu hanya terdiam dan melamun. Ralat, bukan melamun. Melainkan melihat Echa yang sedang bercengkrama bersama rekan-rekannya di depan kantin.

“Ini pak waketos napa melamun lagi sih?” Hendrian menatap kepada sahabatnya yang kini hanya menahan tawa melihat kelakuan Hendrian. Sangat konyol, sebab Hendrian mencari perhatian Arga dengan banyak cara bahkan sampai meminum habis es teh milik Echa.

“Arga kebakaran woy celana lo!” teriak Hendrian yang membuat pojok kantin itu menjadi pecah dengan tawa. Sebab Arga yang terkejut justru reflek berdiri dan hampir menurunkan ritsleting celana OSIS yang ia gunakan.

“Anjing lo ye, Heng,” omel Arga yang kini memukul buku jurnal hitam miliknya ke kepala Hendrian hingga pemuda berambut ikal itu mengaduh dan meminta maaf.

“Makanya kalau dipanggil itu jawab. Kaga ngeliatin awewe mulu maneh teh. Tahu gak? Itu tadi Aheng udah monggal-manggil buat bahas anak asuhan maneh, saha? Cheska? Chestar? Cheddar?”

“Chesna, bego!” ujar Hendrian membenarkan. Tak hanya membenarkan, namun pemuda itu juga menoyor Bagas yang akhirnya juga diikuti oleh Renjana dan dua kembarannya.

“Chesna? Oh, iya. Dia abas SMP kita dulu. Sekarang masuk SMANDEL. Kebetulan banget, si Jamal yang megang kelompoknya.”

Hendrian duduk di bangkunya, menatap Arga dan memulai acara evaluasi dan observasi tingkah mahluk hidup di muka bumi, alias ghibah.

“Bukannya dia anak orang kaya ya, Ga? Bokapnya donatur SMP kita kan?”

“Kan lo gak tahu, Heng. Siapa tahu, bokapnya pailit,” tutur Madava yang pandangannya fokus kepada ponsel di genggamannya. Kini pemuda itu sangat asyik bermain permainan Clash of Clans bersama Naufal.

“Bokapnya tajir melintir gitu ya minimal kalau pailit tetep ada sisa dikit gitu dong.”

“Ya tapi, Heng. Gue setuju sama kata Dava. Kalau pailit, dapet sisa nih, emang sanggup buat bayarin dia sekolah mehong? Mending masuk negeri aja kalau gue, mah.” Renjana mulai ikut andil dalam pembicaraan. Membuat Arga dan Hendrian hanya mengangguk-angguk paham.

“Kalau emang mau gue kenalin, gue ajak aja. Sekalian, gue mau ajak satu anak dari kelompok yang gue pegang.”