Goresan Yahya
“Ya, bantuin gue ngurus Jayden dulu.” Yahya tak sengaja menggulung sweaternya dan menunjukkan goretan bekas luka yang menarik perhatian Marka sang kakak.
“Tangan lo kenapa?” Refleks saja Yahya menarik tangannya menjauh dan menutup seluruh bekas goresan itu. Usianya kini dua puluh satu tahun, yang artinya tahun ini ia telah diberondong dengan banyak tuntutan. Ditambah, hanya dia lah satu-satunya di keluarga yang belum menikah. Kakak dan seluruh kembarannya telah menikah bahkan Marka saja telah mempunyai seorang putra. Membuat pria itu kian dikejar untuk segera menyusul.
Belum berakhir sampai disitu, Yahya masih saja dikejar dengan berbagai tuntutan pekerjaan dari sang kakak. Dia cukup kesusahan, dan dia kekurangan waktu untuk memanjakan dirinya. Membuat pikirannya sedikit kacau dan kantung mata berwarna hitam adalah bukti bahwa ia tak pernah dapat terlelap di malam hari.
“Gak papa, Bang. Ya udah gue urus dulu aja.” “Gak usah. Lo lanjut kerjaan lo aja.” Marka berlalu begitu saja karena sang anak kini menangis dengan sangat kencang. Membuat Yahya menghela napas yang sangat berat.
Ia berjalan menuju meja kerja, melihat pergelangannya yang penuh luka itu dan dia hanya tersenyum. Luka itu memang menjadi saksi bagaimana tertekannya seorang Yahya Laskar Abimana. Membuatnya langsung mengambil sebuah silet yang ia simpan di tempat ATK dan langsung beranjak menuju suatu ruangan sepi.
Dia rindu masa remajanya. Namun, dia merasa bahwa masa remajanya juga tak seberuntung kelima saudara kembarnya. Dia merasa, dia selalu mendapat getahnya. Terkenal hanya karena menjadi si kembar dari keluarga Abimana. Namun, ketika ia berdiri sendiri, semua orang menginjak dan memeras segalanya tentang Yahya. Harta, ketenaran, segalanya! Tak segan-segan terdapat orang-orang tak bertanggung jawab yang menyuruhnya untuk mati saja karena ia tak berguna.
Dia kesal. Sangat kesal.
Yahya menatap silet yang ada di genggamannya. Lalu menatap pergelangan tangan dan mencari di titik mana yang nyaman untuk menggoreskan sebuah luka.
Omong-omong tentang gores-menggores, dia telah melakukan itu sejak lama. Lebih tepatnya setelah ia tak menemukan lagi tempat untuk menyalurkan hawa negatif yang ada.
Menulis cerita? Dia pernah melakukannya namun ada beberapa orang yang berkata secara anonim bahwa tulisannya sangat kacau dan menyuruhnya untuk tutup akun saja.
Menggambar? Dia pernah melakukannya, namun justru Juna menertawakannya dan memperbaiki lukisan coret yang ia buat.
Menyanyi? Dia juga pernah melakukan namun berujung dengan Haidar yang menggodanya dan selalu mempermalukan.
Menari? Apa lagi itu. Dia pernah melakukan namun semua orang justru mengatakan bahwa dia tak pantas untuk menari.
Yahya tahu, itu hanya sebuah gurauan. Namun, karena pada dasarnya dia yang terlalu sensitif, membuat semua hal itu adalah hal yang cukup melukai perasaannya.
Maka dari itu ia melakukan semua goresan itu di sepanjang lengannya. Dia benar-benar butuh ketenangan.
“Yahya, lo ngapain di si—Astaga! Heh gak boleh.” Jeandra menahan tangan Yahya agar tak melakukan self harm dan rupanya hal itu membuat Yahya menangis.
“Lo kenapa?” Jeandra memeluk saudaranya itu den membiarkan pemuda itu menangis. Hingga satu persatu saudaranya tiba dan Jeandra menyuruh mereka untuk tenang.
“Gue capek. Gue bener-bener capek. Gue butuh pelampiasan, tapi apa? Jadi bercandaan.” Kelima saudara Yahya saling bertatapan dan mulai saling memukul satu sama lain karena keceronohan mereka.
“Ya udah. Kalau nangis lo udah selesai, lihat ke belakang. Gue punya satu pelampiasan emosi yang lebih cocok buat elo.” Yahya mendongak, menatap saudaranya yang kini membawa sebuah roti tart dengan lilin yang menyala.
“Maafin Abang yang selalu sibuk. Maafin kita semua yang selalu maksa lo buat ngikutin kita semua. Tiup lilin lo.” Yahya meniup lilin itu, meninggalkan asap kelabu yang membumbung tinggi.
“Oke sekarang ikut kata gue.” Jeandra mengambil kue dari tangan Marka, mengambil seluruh lilin yang terpasang dan mencolekan krim kue itu ke masing-masing pipi saudaranya. Lalu pemuda itu memberikan roti itu kepada Yahya.
“Lo boleh, lempar roti itu atau colek krim ke orang yang paling lo keselin.”
Dan begitulah hari ulang tahun Yahya. Pemuda itu lupa bahwa ia berulang tahun dan hari itu ditutup dengan lempar-lemparan kue.