Hari Lahir si Kembar
“Mas, gak tahan!” Riska merasakan gejolak yang tak biasa, hingga wanita muda itu mengenggam tangan Abhipraya erat-erat. Napasnya memburu, seolah-olah tengah dikejar sekawanan singa lapar.
Pembukaan jalan sang bayi belum sempurna, itulah yang mengakibatkan wanita itu menerima induksi yang membuatnya tersiksa. Rasa nyeri yang menyiksa dan membuatnya setia menggenggam erat jemari Abhipraya hingga pemuda itu ikut mengaduh kesakitan.
“Selamat ... malam Ibu Riska, maaf saya terlambat.” Seorang dokter telah datang dengan pakaian lengkap, mengambil satu persatu handscoon dan memakainya di jemari. Sembari tersenyum seolah menenangkan sepasang suami istri yang tengah menanti sang buah hati.
Mata Rivan membaca satu persatu rekap janin yang diberikan oleh perawat, lalu tersenyum dan langsung duduk untuk bersedia tempur.
“Ibu sekarang coba atur napas, tarik napas pelan-pelan dan keluarkan. Hampir seperti buang air besar, ya.” Tangan sang perawat meraih jemari Riska dan melingkarkan jemari itu ke paha Riska sebagai penopang tubuhnya.
Hari itulah, perjuangan Riska melahirkan tiga orang putra yang hebat. Satu persatu suara tangisan bayi memecah kesunyian.
Hingga hari berganti, di tanggal 24 Maret tahun 2000. Di jam dua belas tepat, suara tangisan bayi terakhir melengkapi simfoni yang telah ada. Simfoni kebahagiaan di keluarga Antareksa.
“You doing great, Riska.” Abhipraya mengecup kening Riska lalu mengelap peluh yang ada di wajah wanita yang dicintainya itu.
“Namanya kamu aja yang mikir, Mas. Aku capek.” Riska tersenyum sembari sesekali mengatur napasnya. Membiarkan pria di sebelahnya itu mulai berpikir satu persatu nama. Hingga ia teringat beberapa nama impian sang istri.
Renjana Galih, Madava Enozekiel, dan Naufaludin Mahardika. Itulah nama yang terlintas di otak pria itu. Hingga akhirnya, tersemat di ketiga bayi manis yang kini tengah terlelap.
“Papa sangat berharap sama kalian,” ucap Abhipraya dan mata yang setia memandang ketiga bayi itu dengan penuh cinta.