hbatdwyt
Tak lengkap rasanya jikalau menulis kisah bocah Antareksa jikalau belum menceritakan si bontot, Naufaludin Mahardika.
Ia memanglah paling disayang, dan sangat didukung untuk menjadi apapun dan sepertinya, Renjana sedikit tak suka dengan dirinya.
“Andai saja, hal baik itu ada.” Begitulah tutur Naufal ketika menginjak bangku sekolah menengah pertama.
TIGA TAHUN KEMUDIAN “Tolong kerjain PR gue, please.” Naufal menoleh kepada sang kakak, tak lain dan tak bukan adalah Madava yang satu kelas dengannya.
“Ya udah taruh situ aja. Aku kerjain. Emang kamu mau ngapain sih, Bang?”
“Gak mood. Lo tahu sendiri, gue habis gelut sama Papa,” adu Madava sembari menunjukkan wajahnya yang memar. Membuat Naufal berhenti mengerjakan tugasnya dan berlenggang begitu saja ke kamar mandi.
“Makanya, jangan suka bantah Papa. Abang sama Papa tuh sama-sama keras. Kalau nekat dipaksain, yang ada malah ngerusakin satu sama lain.” Naufal kembali, membawa sebuah handuk yang ia basahi dengan air.
“Sini, aku kompres dulu memarnya.” Naufal terduduk di atas ranjang, menghadap tepat di depan Madava. Pandangannya terkunci kepada lebam pada ujung bibir Madava. Ketika ia mengompresnya, sang kembaran justru meringis kesakitan dan menjauhkan kain putih itu dari wajahnya.
“Makanya, gak usah belagak sok jago. Kalau gak—” Suara isak terdengar jelas di telinga Naufal. Membuat pemuda itu menghentikan kegiatannya dan menyuruh sang kakak untuk diam.
“Itu Bang Galih nangis?” Madava hanya mengerdikkan bahu. Membuat Naufal harus turun untuk menghampiri asal suara yang berada di luar jendela.
Benar saja, itu adalah Renjana sang kakak yang tengah menangis. Ia nampak seperti anak kecil yang kehilangan arah. Bukan seperti singa yang marah dan siap menerkam seperti beberapa jam yang lalu.
“Bang Galih?” Pemuda itu terkejap dan mengusap air matanya dengan cepat. Lalu kembali memasang wajah ketusnya.
“Kenapa?”
“Gak pa-pa, Bang. Cuman tadi lihat tokek gede banget.”
Semenjak itulah, Naufal selalu memperhatikan kakak kembarnya yang paling tua. Si sulung yang nampak tak memiliki satupun bahu untuk bersandar.
Hingga hari ini, di usia mereka berada di penghujung sembilan belas tahun. Pemuda itu lagi dan lagi menemukan Renjana yang tengah menangis di atap rumah.
Pemuda itu berjalan mengendap-endap agar sang kakak tidak memarahinya. Namun semakin dekat, semakin ia mendengar jelas bagaimana pergumalannya dengan semesta yang tak berpihak kepada Renjana.
Naufal tak tega. Naufal ingin segera menghampiri Renjana untuk memeluknya.
“Apakah aku harus berhenti, Tuhan?”
“Jangan!” Naufal mendekap sang kakak. Berusaha menghangatkan hati Renjana yang mulai mendingin serta pikiran Renjana yang mulai panas.
“Lo ngapain di sini? Gak tidur?”
“Bang Galih tidur dulu. Baru aku tidur.” Naufal masih memeluk sang kakak. Sembari berusaha untuk menjadi kuat.
“Bang Galih, Bang Galih mungkin enggak dapet cintanya Papa. Gak dapet cintanya Mama. Tapi, percaya sama aku. Papa sama Mama nitip cintanya ke aku. Aku mau peluk abang, aku mau kasih cinta mereka. Kalau abang butuh bicara sama mereka, bilang ke aku. Biar aku yang bilang, biar aku yang bertengkar.”
Sebuah usapan di puncak kepala sangat dirasakan oleh Naufal dan pertama kalinya, ia melihat sang kakak tersenyum dengan sangat tulus.
“Ternyata di peluk seenak ini ya?” Boleh Naufal akui, sang kakak sangatlah tertutup. Ia tak pernah suka ia sentuh bahkan ia peluk. Namun, untuk pertama kalinya ia tahu bahwa sang kakak butuh peluk.
“Gue gak punya siapa-siapa buat cerita. Beda sama kalian. Mungkin gue di Bumilangit paling rame, tapi lo satu-satunya yang tahu sisi rapuh gue. Capek gue, beneran.” Malam itu, Renjana menghabiskan malam bersama Naufal. Bercerita bagaimana sudut pandang mereka sebagai sang sulung dan sang bungsu.
“Na, gue minta maaf ya kalau selalu judes sama lo.”
“Gak pa-pa. BTW balik badan, Bang. Mau lihat bekas cambukannya Papa, biar sekalian aku obatin.”
“Gak usah! Udah gue obatin tadi pakai mandi.”
“Gak. Udah sini masuk. Aku obatin.” Naufal menarik lembut sang kakak agar segera masuk. Lalu mengangkat kaos putihnya dan menunjukkan beberapa bekas cambukan sabuk yang ada di punggung sang sulung.
“Bang, aku cuman mau bilang. Akan ada masanya hal baik tiba ke abang. Entah itu cepat atau lambat. Tapi pastinya, di waktu yang tepat.”
Itu menjadi momen terakhir kesedihan yang Naufal lihat dari sang kakak. Karena hari ini, tanggal 24 Maret 2020. Ia meniup lilin ulang tahunnya dengan perasaan bahagia.
Tak ada hati yang terluka dan tak ada suara isakan yang terdengar. Semua stigma dan kekangan telah Naufal lepaskan setelah ia berbicara dengan kedua orang tuanya secara baik-baik.
Hal baik memang selalu datang secara tiba-tiba. Namun hal baik itu akan selalu datang di waktu yang tepat seperti alur yang Tuhan tuliskan.