Herlian Dilaga

Seorang pria menghampiri dan berdiri tepat disebelah Samudera, tingginya kira-kira sepantaran dengan pemuda leo itu. Samudera menatap ke arah lantai, melihat sepatu Converse kelabu yang pemuda itu kenakan.

Perlahan-lahan pandangannya mulai naik, melihat celana denim yang koyak di bagian lutut, kaos hitam bertuliskan band Nirvana yang melegenda, dan jemarinya tengah menjepit selinting tembakau yang asapnya setia membumbung ke bumantara.

“Mau rokok?” tawar pemuda itu yang ditolak langsung oleh Samudera. Pemuda berkulit sawo matang itu menaruh puntung rokok ke asbak stainless, mematikan bara api dan mengulurkan tangan sembari memperkenalkan diri, “Herlian Dilaga, panggil aja Aga. Lo?”

“Samudera. Sedang apa kamu di sini?” Samudera menjabat tangan Aga dan tersenyum ramah kepada pemuda itu.

“Sepertinya kita seumuran. Omong-omong kamu menunggu siapa? Pacar?”

“Gak ada yang gue tunggu di sini.” Samudera menoleh, sedikit tercengang dengan jawaban pemuda di sebelahnya. Aga hanya terkekeh, dengan salah satu tangannya ia menyingkirkan rambut poni yang menutupi dahi lantas mulai bercerita.

“Dulu kembaran gue anak sini. Hermian Diraga. Dia itu pintar, penuh ambisi, bahkan selama turnamen, dia selalu liar, bahkan koran selalu berkata bahwa Hermian itu punya serangan secepat kilat lah, kayak elang lah. Tapi semua berubah setelah si bangsat yang satu itu datang.” Netra Samudera mengikuti arah pandang Aga, membawanya menuju sosok William yang berdiri dengan begitu angkuh dalam balutan jaket atlet.

“Dia membuat skandal kalau Hermian pernah lakuin bullying di sekolah. Dia buat satu video seolah-olah Hermian pelakunya.”

“Akhirnya gimana sama kembaranmu?” tanya Samudera yang ingin mengeruk informasi sebanyak mungkin tentang William Fernando. Pria bernama Herlian Dilaga hanya menghela napas berat, seolah-olah ada suatu ketidak adilan yang memenuhi dada hingga membuatnya sesak.

“Hermian kehilangan semuanya. Semua kerja keras dia hilang dan sialnya lagi, gue gak ada di sana waktu itu buat nenangin dia.” Samudera melihat bagaimana dinding pertahanan Aga runtuh sedikit demi sedikit, membuatnya langsung menarik pria sawo matang itu untuk duduk di salah satu anak tangga.

“Kalau kamu tidak kuat buat lanjutin, gak apa-apa. Saya sudah bisa menebak akhirnya.”

“Gue gak tahu cewek yang daritadi lo lihatin itu berharga banget atau tidak, tapi gue berharap lo selalu temani dia. Gue gak mau apa yang dialami adik gue justru kena ke gadis sebaik itu.”

Pesan Aga seketika memberikan isyarat genting kepada Samudera. Ia tak tahu apa yang akan pria yang berdiri di dalam sana lakukan kepada sang kekasih.

Thanks for your information. By the way, saya boleh minta kontakmu? Kamu pasti butuh teman buat bercerita juga 'kan?”