How can I Marry the Red Flag Boys?

Fransiska melempar tubuh di atas ranjang empuk miliknya. Gadis itu merasakan lelah yang berlebih setelah menghabiskan satu hari berkendara dari kota tempatnya bekerja, Kota Kembang, Bandung.

“Dek, kamu gak mau nikah sama anaknya Pak Cipto? Cakep loh anaknya. Belum pernah punya pacar.”

Red flag pertama, gak pernah pacaran. Antara dia emang gak mau pacaran, atau gak ada gadis yang mau pacaran sama dia.

“Terus Mami mau aku gimana? Aku juga habis putus sama Andrew. Masa pacaran lagi? Capek aku.” Wanita itu memukul pelan paha sang putri dan meminta gadis itu setidaknya berpacaran dengan pria yang ia ceritakan.

“Iya, iya nanti aku coba. Mau tidur dulu. Capek.” Fransiska memejamkan mata, berusaha untuk terlelap namun nihil. Otak gadis itu masih memikirkan ucapan wanita yang ia panggil Mami.

Gadis itu bangkit, menemukan secarik kertas berisikan nama dan nomor telepon seseorang.

Liang 0271-XXXX-XXX

“Koh Liang? Huft. Oke deh.” Gadis itu berjalan keluar rumah, menuju salah satu bilik telepon yang ada di dekat rumah dan mencoba untuk menekan satu persatu nomor, lalu menghubunginya.

“Halo? Siapa ini?” Suara serak menyambut telinga Fransiska. Membuat gadis itu langsung berdiri tegap dengan jemari yang setia bermain dengan kabel telepon.

“Siska. Anaknya Pak Waluyo.”

“Oh, lagi di Solo?” Fransiska hanya mengangguk. Walaupun sebenarnya hanya Tuhan dan dirinya yang tahu jawaban itu.

“Iya, Koh. Tapi aku bisa minta tolong?”

“Tolong apa?” Suara itu sedikit melunak, walaupun Fransiska masih mendengar bahwa kekakuan masih nampak jelas di setiap tuturnya.

“Aku mau ke rumah teman di Sragen. Bisa tolong antarkan?” Pemuda itu bersedia dan menyuruh gadis itu mengatur tanggal dan waktu.

“Besok jam sepuluh pagi.”

Keesokan paginya gadis itu telah bersiap dengan tampilan khasnya, rambut yang dikuncir setengah, kaos oblong berwarna putih dengan lengan yang sedikit tergulung, serta celana jeans pendek. Gadis itu menunggu di serambi rumah, menantikan kehadiran seorang pria keturunan china seperti yang Maminya ceritakan. Namun ketika ia melihat jam yang telah menunjukkan pukul sepuluhpun tak nampak satupun orang yang ia di deskripsikan sang Mami.

Red flag kedua. Dia sepertinya hanya main-main.

Fransiska langsung berjalan keluar rumah, berniat untuk mencegat sebuah bus untuk ke Sragen. Gadis itu langsung berlalu begitu saja ke Sragen tanpa menghubungi pria itu.


“Terus-terus Mama gimana ceritanya bisa nikah sama Papa? Bukannya Mama udah gak peduliin Papa?” tanyaku yang penasaran dengan cerita Mama tentang kisah percintaannya.

“Oh itu Papa kan gak tahu kalau Mama setiap akhir minggu selalu pulang Solo. Sampai akhirnya Papa tahunya pas nikahan tante. Hari itu juga Papa kamu lamar Mama.”

“Gimana lamarnya?” Wanita itu melambaikan tangan dan melanjutkan cerita.

“Cukup buruk. Puncak red flag itu. Dia nembak Mama posisi lagi mabuk. Bayangin saja, Papa dari Solo kota, ke Palur naik motor posisi mabuk.” Aku tertawa, tak percaya bahwa Papaku senekat itu untuk menyatakan perasaannya. Bertepatan dengan seorang pria yang muncul di daun pintu dengan badan yang sedikit basah setelah kehujanan.

“Nah itu Koh Liang yang ditungguin buat ke Sragen baru datang,” sindirku kepada Papa.

“Loh, Papa itu gak tahu di mana Sragen.”

“Wonogiri aja tahu, masa Sragen enggak.” Mama ikut menyindir fan membuatku tertawa karena Papa yang terus menerus mengelak dari kesalahan masa lalunya.

Begitulah, kisah Fransiska yang menikahi pria dengan penuh red flag bernam Liang. Sejujurnya, Mama pernah cerita alasan Papa yang tak pernah memiliki satu kekasih. Karena pria itu setia menunggu Mama sembari mengejar-ngejar nenek untuk menjodohkan Mama dengannya. Cukup lucu bukan?