Hujan, Solo Baru, dan Nasi Soto
Kaki mungil Abel melangkah, menghindari genangan air di halaman rumah. Sampai akhirnya, ia tiba di depan pintu rumah mungilnya. Gadis itu menemukan seorang pria yang berpakaian sangat rapi dalam balutan kemeja hitam yang mulai pudar, dipadukan dengan celana serta gasper hitam.
“Papa mau kemana?” tanya Abel.
“Mau ke rumah Om.” Rasa lelah karena seharian kerja seketika menguap. Abel sangat semangat saat mendengar bahwa sang Papa akan pergi bersama Paman.
“Jam berapa? Aku ikut, ya!”
Sepertinya, semua ekspetasi yang Abel bayangkan sirna. Tidak ada saudara sang Paman yang ikut menjemputnya. Gadis itu hanya bisa terduduk lesu di bangku tengah mobil. Menatap jendela yang penuh dengan ulir air hujan, sedangkan telinganya kini penuh dengan lagu rohani serta perdebatan dua orang pria dengan keyakinan dan kepercayaan mereka.
Mobil terus melaju, membelah rintik hujan yang membasahi Solo Baru. Pikiran Abel terus bercabang memikirkan hal apa yang harus ia ucapkan kepada Samuel di chat untuk pertama kali. Ego serta gengsi, kedua hal yang membuatnya ragu terus menghantui Abel.
Setelah mobil berbelok dari perempatan patung Padhawa dan memasuki area Atrium, Abel justru merasakan hal aneh. Kendaraan itu justru berputar balik ke arah menuju patung Pandhawa.
“Yah tutup,” seru sang Paman. Detik itu juga Abel baru sadar, bahwa sang Paman hendak mengajak dirinya dan sang Papa untuk menikmati nasi liwet. Namun, tak nampak warung kaki lima yang biasa menjual nasi liwet. Yang ada hanyalah sebuah warung kaki lima yang berbeda. Di spanduknya bertuliskan, Soto Daging Sapi Pak Jhon.
“Makan soto aja, ya,” tawar sang Paman. Tanpa basa-basi, Abel langsung membuka pintu mobil. Semangkuk nasi soto dengan cuaca dingin sepertinya sangat nikmat, begitu pikir Abel yang berjalan menuju tenda terpal yang tampak hangat.
Lagi dan lagi, pikiran Abel justru ditarik mundur. Ke masa di mana dirinya bersama Samuel.