Hukuman
Sastra turun dari kendaraan yang ia tunggangi, walaupun tangan kirinya masih digendong, seorang Sastrawan dapat menunjukkan sisi menyeramkan dari dirinya.
Kalau bisa di bilang, semua sisi dingin milik Sastra persis dengan sang Papa, Abimanyu. Tak heran, seluruh orang yang ada di base camp langsung terdiam. Baik dari Raven maupun Fiacre berhenti menendangi para perusuh di depan mereka dan menatap Sastra dan Shadam yang memasuki ruangan yang penuh dengan coretan menggunakan pilok.
“Mau lo gimanain mereka?” Shota berdiri dan melepas cengkraman di rambut salah satu pemuda yang mukanya penuh lebam setelah melihat tubuh jenjang Sastrawan memasuki ruangan 3,5 × 3 meter itu.
“Bentar. Aku mikir dulu.” Sastrawan berjalan mondar-mandir di depan sepuluh orang yang menjadi pelaku penyerangan base camp Fiacre. Hingga tiba-tiba Sastra menendang perut salah satu dari mereka hingga terjerembap.
“Kamu yang jadi dalangnya kan?” tanya Sastra tepat sasaran. Membuat seluruh anggota Raven dan Fiacre termasuk Shadam serta Shota tercengang karena mereka tidak memberitahu kepada Sastra, siapa dalang dari penyerangan base camp tersebut.
Sedangkan pemuda itu masih setia dengan posisinya sembari memegangi perutnya.
“Angkat dia!” titah Sastra dan dia menghampiri Shota lalu mengambil sekotak Marlboro beserta korek dari tangan pemuda itu, menjepitnya di bibir dan menyulut dengan api hingga terbakar. Sastra menghisap rokok itu dan kepulan asap membubung tinggi hingga ke langit-langit base camp Raven.
“Sisanya Sastra kasih ke kamu saja. Terserah mau ngapain, asalkan jangan sampai mati, berabe urusannya. Aku mau balik. Ada urusan.” Pemuda itu menepuk bahu Shota dan berlalu pergi begitu saja.
“Thanks, btw kamu kok bisa dapet dalangnya? Kan kita-kita belom ngomong sama sekali.” tanya Shadam. Kali ini mereka berada di Starbucks sesuai dengan permintaan Sastrawan sebelumnya.
“Gak tahu, insting doang,” jawab Sastra singkat sembari menyesap Americano pesanannya.
Matanya menatap keluar jendela, melihat hilir pengemudi yang kian menyepi. Hingga matanya terkunci kepada seseorang yang berjalan di tengah hujan.
“Lah, Dek Kila?” Pemuda itu langsung berlari keluar dan membuat Shadam terkejut dan menatap pemuda itu pergi.
“Dek? Hey kamu kenapa?” Sastrawan menarik sang adik menepi.
“Mas Sastra ....” “Kenapa?” “Papa pulang tadi, terus marah besar dan Kila yang kena.” “Terus?” “Kila disuruh cari Mas Sastra. Kalau gak ketemu, gak boleh pulang.” “Papa lama-lama makin gak bener.” Sastra membuka ponsel miliknya dan menghubungi Tama.
“Om jemput Shakila. Ada di deket Starbucks Ngagel. Bisa-bisanya Papa suruh anak cewe nyari aku malem-malem gini.” “Iya Sastra, biar Kila tidur di rumah Om Tama dulu atau enggak di gudang yang udah jadi kamar barang Mama kamu aja. Maaf, Om gak tahu kalau Papa kamu pulang terus ngamuk. Beneran Om gak tahu.” “Iya Om, santai aja.”
“Papa apa-apaan?” Sastra mendobrak dan berdiri di depan pintu ruang kerja sang Papa.
“Ingat rumah kamu?” Pria itu menghentikan aktivitasnya mengetik dan menatap putra pertamanya dengan tatapan dinginnya. Sastra menghela napasnya berat, berusaha semaksimal mungkin agar tidak marah kepada pria di depannya.
“Shakila hampir diserang di Ngagel. Andai saja Sastra tidak nongkrong di Starbucks, Papa kehilangan Shakila.” Pemuda itu diam dan mengatur napasnya yang memburu lalu mencegah Tama yang baru datang agar tidak ikut campur dengan perdebatan kali ini.
“Papa mau tahu kenapa aku jadi panglima tempur? Aku gak mau. Kehilangan wanita kedua yang aku cintai. Shakila. Papa tahu kan betapa berbahayanya jalanan saat ini?” lanjut Sastra dan menatap pria yang ia sebut Papa dengan tatapan dinginnya. “Sastra, sekarang Shakila di mana?”
Telat. Pemuda itu pergi begitu saja. Membiarkan Abimanyu kini mengacak-acak rambutnya. Merasa bodoh karena mengusir putrinya yang tidak bersalah.
“Lo kebangetan sih Bim. Itu anak gak tahu apa-apa dan kenapa lo balik sekarang? Lo udah bikin kecewa dua anak lo. Terutama Sastra. Dia kira lo udah berubah ternyata sama aja.” “Diamlah Tama. Saya pusing.”
Sastra kini duduk di balik pintu kamarnya. Pemuda itu menangis, memang untuk tampang seorang panglima tempur, ini bukanlah seseorang yang tadi menghukum para perusuh. Melainkan ini sisi Sastrawan yang rapuh.
Sang Papa tak pernah peduli, ia hanya sibuk dengan kerja dan menurutnya, pria tua itu hanya memiliki jalan pikiran yang sangat sempit.
© hvangrcnjun ; 2021