ICU
Seli berlari membelah kepadatan orang yang ada di sepanjang lorong rumah sakit. Gadis itu masih memikirkan teman satu kelasnya itu, hingga tatapan matanya terkunci di seorang pemuda berwajah bule yang kini tengah terduduk dan menatap nat lantai.
“Kak Arga! Kak Arga kenapa gak bilang kalau di sini? Terus Jiza di mana sekarang?” Arga mendongak dan menatap Seli lalu berdiri. Mengajak Seli ke salah satu jendela di mana mereka dapat melihat Jiza dengan jelas.
“Itu ICU. Dia tadi kejang-kejang terus ada sekali henti jantung. Gue tadi nanya temen bokap, emang kalau alergi berat gak bisa main-main, Sel. Resiko paling parah bisa meninggal.”
“Gue beneran gak tahu, gue gak tahu kalau Jiza alergi kacang.” Seli memegang kaca pembatas dan matanya tak berhenti melihat seorang Rajiza yang kini terbaring dengan alat medis menghiasi tubuhnya.
“Lo gak usah khawatir, Sel. Jiza nanti gue jagain bergilir sama anak Bumilangit. Pulang aja lo. Istirahat. Kita juga belum bisa ketemu Jiza soalnya.”
Seli menganggukkan kepala dan mendekap kakak kelasnya itu lalu berpamitan pulang.
“Sel? Mau balik?” tanya Chesna saat berpapasan di pelataran rumah sakit.
“Iya. Jiza belum bisa di kunjungin.”
“Ya udah naik aja. Gue anterin lo balik. Ga baik cewek galau kayak lo malah naik transjakarta atau naik taksi. Resiko melamun tinggi.” Seli tertawa renyah dan langsung menerima helm pemberian Chesna—yang merupakan helm milik Jiza— lalu pergi meninggalkan pelataran rumah sakit.
“Istirahat, Sel. Wajah lo keliatan lesu banget dari tadi.”
“Iya Ches. Gue masuk dulu ya.” Seli mencangklong tasnya dan membuka pintu pagar. Gadis itu memasuki rumah yang masih sepi karena sang kakak yang masih kuliah. Berjalan menghitung seluruh anak tangga hingga ia membuka kamar dan melempar tubuhnya di atas kasur yang empuk.
“Jiza masuk ICU. Karena gue ....” Seli masih setia menyalahkan diri hingga tanpa ia sadari, gadis itu terlelap tanpa berganti pakaian.