Kemah Akhir

Hello Echa. Are you ready for camping?” sapa Arga di depan gerbang sekolah. Namun, Echa tak memperdulikan dan masuk begitu saja menuju halaman belakang sekolah menemui Luthfian yang kini sedang bermesra-mesraan dengan gadis-gadis yang tengah mendirikan tenda.

“Akhirnya dateng juga lo,” ucap Luthfian sembari mengusap dari kepala hingga punggung Echa secara seksual dan membuatnya risih.

“Kesiniin inhaler aku.” Echa mengulurkan tangannya dan memberi kode agar Luthfian memberikan inhaler miliknya. Membuat Luthfian menurut begitu saja dengan mengeluarkan inhaler dari kantong dan memberikan secara kasar kepada gadis di depannya lalu kembali menggoda perempuan yang kini telah usai mendirikan tenda.


Hari telah berganti menjadi malam, dan api unggun telah menyala untuk menemani seluruh siswa kelas dua belas itu untuk bersenda gurau dan bernyanyi. Bahkan panitia yang merupakan perwakilan dari setiap kelas itu mengadakan pentas seni untuk meramaikan acara.

“Arga, kayunya mau habis. Gue cariin aja ya.” Arga mencegah rekannya itu setelah menatap siluet dari gadis yang ia sukai di tengah kegelapan. Seolah-olah menjauh dari kerumunan dan ketika Arga melihat ke arah api unggun. Rupanya, Luthfian tengah menggoda wanita dan tak memperdulikan Echa.

“Gue aja yang cari.” Arga menyalakan senter yang ia genggam dan berjalan mendekati Echa.

Hey, kamu kenapa diem-diem di sini? Gak mau lihat pentas api unggun cowokmu?” Echa menggeleng. Enggan rasanya ia duduk di atas rerumputan sembari memandang sang kekasih yang bermesra-mesraan menikmati malam pertama kemah kali ini.

“Aku temani. I know, kamu merasa tidak nyaman setiap melihat Luthfian dekat sama gadis lain kan? Tweet kamu kemarin itu aslinya buat Luthfian bukan?” Echa hanya tertunduk lesu. Memainkan pasir dengan jari telunjuknya. Hingga tangan milik Arga menarik tubuh mungil Echa ke pelukan. Membuat gadis berambut pendek itu menangis di dekapan pria yang selalu ia anggap sahabatnya.

“Nangis yang puas. Habis itu janji, kita kumpul sama anak-anak seangkatan lainnya.” Echa mengangguk dan melanjutkan tangisannya. Tak peduli dengan kaos putih milik Arga yang kini meninggalkan bekas air.

“Kamu nangis terus aja. Aku mau angkat telepon.” Arga menggeser tombol dial dan menempelkan perangkat itu di dekat telinganya.

“Mana kayunya? Gue tungguin.” “Astaga. Sorry-sorry. I'm forget about that.” Echa mendongak, dan kembali ke posisi duduk.

“Kamu ada urusan kan? Ya sudah bareng aja yuk. Aku udah mendingan kok.” Echa tersenyum dan berdiri dengan bantuan Arga.

Arga berjalan memimpin, lalu mampir untuk mengambil bongkahan kayu yang telah panitia singgahkan dan berbalik menghadap Echa.

“Echa, can you help me, please? ini gak bisa ambil senternya.” Arga tersenyum kikuk dan membuat Echa tertawa sembari mengambil senter yang terjepit di ketiaknya.

“Kamu lucu banget Ga, ya udah sini aku senterin aja.” Echa menyorot ke arah depan. Menerangi jalan Arga dan mereka kembali berjalan menuju pusat keramaian.

“Nah ini, si beban dateng.” Echa menatap pemilik suara. Luthfian kini memandang Echa dan tersenyum miring.

Membuat Echa semakin kecewa dengan kekasihnya dan ia menghampiri pria itu lalu melayangkan satu tamparan ke pipinya.

“Makan semua spotlight yang kamu dapat dari aku, Lu. Kamu bener-bener berubah. Kita berakhir di sini saja ya.” Echa langsung pergi begitu saja memasuki sekolah, lebih tepatnya gadis itu memasuki kamar mandi dan berdiam diri di dalam.

Sedangkan Arga yang melihat kejadian itu, justru menunggu Echa di depan kamar mandi sembari menggenggam inhaler yang ia minta dari Papanya yang merupakan dokter. Berjaga-jaga jikalau gadis itu mengalami sesak napas.

© hvangrcnjun ; 2021