Keraguan Samudera

Feels better?” Pemuda dengan rambutnya yang berantakan merangkul tubuh mungil Cassiopeia. Tingginya selisih sepuluh senti dari tinggi Samudera, membuat tubuh Cassiopeia gampang sekali dirangkul pemuda itu.

Yang ditanya hanya mengangguk, perasaannya cukup membaik daripada saat ia menerima pertanyaan dari Andriana.

Langkah kaki mereka terus berlalu, membawa mereka menuju mobil Pajero hitam yang begitu gagah. Ia membukakan pintu, mempersilakan sang pujaan hati masuk ke dalam sebelum ia masuk, dan membawanya pergi ke rumah.


“Kamu tidur di sini, ya. Nanti saya biar tidur di kamar tamu,” ucap Samudera yang membiarkan kamarnya dipakai untuk Cassiopeia beristirahat.

Kali ini mereka telah berada di kediaman Samudera untuk beristirahat dan lari dari realitas untuk sejenak. Begitu lelah dikejar oleh media yang penasaran dan banyaknya orang-orang yang menusuk Cassiopeia dari belakang membuatnya harus bersembunyi.

“Kalau ada perlu sesuatu, bisa chat saya. Oh iya, itu kulkas kecil di meja isinya air putih sama cemilan coklat, tadi saya isi semua kesukaanmu. Selamat malam, Cantik.”

Samudera menuruni setiap anak tangga, menemui sang mama yang tengah berjalan membawa gerabah yang sedang ia hias dengan pewarna. Ia menghampiri Marsha, meraih kuas serta gerabah dan ikut menghias benda dari tanah liat itu.

“Kamu sudah yakin sama keputusanmu, Timoer?” Marsha memulai topik pembicaraan dan Samudera sendiri setia terdiam dan menghentikan aktivitasnya.

“Ragu sebenarnya Timoer ... anggar bukan ranahku. Tapi, buat kalahin dia, cuman itu yang bisa.”

“Jangan pernah berpikir untuk mengalahkan, Timoer.” Sang anak menoleh, terkejut dengan ucapan mendadak sang mama yang bertolak belakang dengan apa yang ia pikirkan.

“Maksudnya?” tanyanya.

“Dengan otakmu yang mikir itu, yang ada musuh kamu bisa membacanya. Soalnya, orang yang berpikir untuk mengalahkannya, hanya dipenuhi dengan dendam dan emosi. Coba sekarang kamu berpikir hal lain, semisal ... kamu mau mencoba buat memberi pelajaran kepadanya?”

“Apa enggak sama aja?”

Marsha menggeleng, ia menaruh gerabah yang sudah dihias dan menatap Samudera lekat-lekat, “Bukan pelajaran buruk seperti menghabisinya, tapi beri pelajaran kalau segalanya ga selalu berotasi kepadanya. Kamu jadi guru kehidupan untuk William, untuk jadi guru harus ngapain dulu?”

“Belajar.”

“Benar, latih terus. Mama yakin sama kamu Timoer, kamu itu pintar,kamu bisa mendalami semuanya dalam sekali lihat. Mama yakin itu.”

Keraguan Samudera perlahan menghilang, digantikan dengan senyuman yang menghiasi bibir Samudera. Setidaknya untuk kali ini yang dikatakan sang mama ada benarnya.

Thank you, Ma. Samudera mau masuk dulu. Mama jangan begadang, oke?”