Kiss on Your Cheek
Sorak sorai manusia kini memenuhi telinga kedua insan yang saling beradu pandang. Rasanya tak asing tatkala pandangan mereka saling bersua di kala suasana gembira para penonton acara bola atas kemenangan negara mereka di turnamen.
“Long time no see, Helga,” tutur sang adam kepada gadis di sebelahnya itu. Sang empunya nama hanya tersenyum, lantas menyibakkan rambut panjangnya ke belakang telinga walaupun akhirnya surai hitam itu kembali turun menutupi wajah cantiknya.
Malam itu semua rasa kembali mengudara: rasa bahagia, suka, duka, dan segala jenis perasaan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Helga sangat merindukan pria itu. Ia rindu dengan tatapan sang adam seolah-olah tengah melihat semestanya.
“Yale! Lo mau minum ka— Oh, sorry-sorry, gue ganggu. Lanjutin aja.” Suara bariton itu menjauh, ketika melihat wajah Helga dan pria bernama Yale itu sudah mendekat. Hanya butuh satu inci lagi hingga kedua hidung mancung itu saling beradu satu sama lain.
Suasana semakin canggung semenjak kepergian teman Yale. Membuat kedua insan yang sedang reuni hati itu berdeham dan berusaha untuk asyik dengan dunianya masing-masing.
Mereka sebenarnya ingin sekali melepas semua ikatan canggung. Terutama Yale; dia ingin sekali menghabiskan waktu untuk mengulik kisah mereka menjalani dunia setelah berpisah.
Hingga sebuah ciuman mendarat di pipi mulus pemuda berwajah oval itu. Yale menoleh, mendapati Helga sang pelaku yang tertangkap basah tengah tersenyum tepat di depan wajahnya.
“I miss you, news anchor Yale.“
Padahal hanya satu kecupan hangat di pipi, namun entah bagaimana, wajahnya kini merasa begitu panas. Iris hitamnya masih menaruh atensi yang penuh kepada Helga. Berusaha untuk memastikan hatinya yang melonjak kegirangan.
Yale mendekatkan wajahnya, begitu dekat, hingga ia dapat merasakan dan mendengar deru napas Helga.
Hingga tangan panjang pemuda itu terulur dan melingkar ke tengkuk gadis pujaan hatinya. Tanpa basa-basi, ia menarik leher sang wanita dan mencium lembut bibirnya.
Yale melepas tautan bibir, terkekeh, dan mengacak rambut Helga dengan manja. Memang ya, ciuman selalu sukses membuat seseorang di mabuk kepayang. Bahkan Helga saja mati kutu dan tak dapat mengatakan apapun.
“Sebenarnya aku masih sayang sama kamu, Ga. Tapi aku takut, bagaimana jika aku menjadi seseorang yang menikammu dari belakang?”
Helga tersenyum, ia menangkupkan kedua pipi lelaki di depannya, mengumpulkan keberanian sebab ia kembali merasakan sesak di dalam dada, sembari berusaha untuk menyusun setiap kalimat yang ingin ia utarakan.
“Yale ... menjadi profesional adalah hal yang paling dibutuhkan saat ini di dunia kerja. Bukan artinya kamu itu menusuk seseorang dengan berita yang kamu bawakan, tetapi hal itu yang menjadi bentuk tanggung jawab.” Helga mengusap pipi Yale, lalu melanjutkan kalimatnya, “Jangan sampai kamu merasa takut untuk memulai suatu hal hanya karena profesionalitasmu. Itu justru yang membuatmu jatuh dan tenggelam di dalam ketakutan yang kamu buat. Paham?”
Ciuman di pipi itu kini berubah menjadi sebuah topik pembicaraan yang hangat diantara kedua insan yang tengah bermadu kasih. Mereka mulai bercerita tentang hari-harinya akhir ini.
“Aku bahagia bisa kenal dan menjadi secuil bagian dari kisahmu, Helga.”