Lautan yang Menghilang

“Gue gak salah kan ini? Ini Lautan Timoer kan?” Gadis itu berteriak dalam hati, tak menyangka saja jikalau ia menemukan kembali payung kebangaannya. Ditambah, Lautan yang ia cari justru yang mengambil dan memberikan payung itu. Ia langsung memberikan payung miliknya ke Bi Ijah. Lalu pergi keluar rumah.

“Neng! Mau kemana?” teriak Bi Ijah ketika Cassiopeia mulai berlari ke luar rumah bahkan dengan alas kaki yang berbeda satu sama lain.

Hanya satu tempat yang sangat pasti pemuda itu datangi. Kaki Cassiopeia terus melangkah begitu cepat, bahkan tubuhnya terasa begitu ringan seperti angin yang membantunya untuk tiba di sana sebelum Lautan pergi.

Ia terus berlari, tetapi saat kakinya mulai melambat dan berhenti di taman kompleks, semuanya terasa hampa. Taman bermain itu kosong dan sepi. Tak ada seseorang yang menunggunya. Tak ada seorangpun selain dirinya yang terduduk di salah satu sisi jungkat-jungkit dan menahan isak. Ekspetasi menghancurkan wanita itu, membuatnya kini menjadi sosok yang sangat menyedihkan.

“Mbak kunti mau main jungkat-jungkit, ya?” Ucapan seseorang membuat Cassiopeia mendongak, ia mendapati Johan teman satu kelasnya itu sedang tertawa mengejek sembari duduk di sisi berlawanan jungkat-jungkit dan membuat Cassiopeia terangkat ke atas. Gadis itu menghapus titik air mata, lalu menatap pria itu dan terkekeh.

“Gue bukan kunti dan gue gak mau main jungkat-jungkit sebenernya, cuman gue tadi keinget seseorang. Jadi ke sini deh. Lo sendiri ngapain malem-malem jalan sendiri?” Dengan keadaan masih bermain jungkat-jungkit, Johan mengangkat satu plastik kresek yang ia bawa. Plastik itu transparan, sehingga Cassiopeia dapat melihat obat merah dan plester luka berada di dalam plastik itu.

“Dari minimarket, beli ini buat Bunda. Biasalah si Ayah kampret balik-balik mabuk terus gebuk bininya sendiri. Lo ke sini tadi gara-gara apa? Keinget seseorang? Pasti si pendiem yang suka mainan pasir itu kan? Ngapain masih inget dia sih, Cas? Bukannya dulu dia gak pamit sama lo dan pergi gitu aja?”

Entah karena suasana hatinya yang kacau atau bagaimana, Cassiopeia justru turun begitu saja dari jungkat-jungkit dan membuat Johan terjengkang serta mengaduh kesakitan. Gadis itu menghampiri Johan yang telentang di atas rerumputan, berjongkok di dekat kepala pemuda itu, dan mengultimatumnya.

“Lo sekali lagi ngomong jelek tentang Lautan, gue cabein itu mulut. Lo lupa, Jo? Gara-gara lo dulu cepuin masalah gue yang mukul William pakai payung, payung gue dibuang ke Kali Mati. Lo dulu mana ada berusaha gitu nyebur buat ambil? Gue tanya sekarang, lo tahu gak sekarang payung itu di mana?”

“Di Kali Mati?”

“Kaga. Payungnya ada di rumah gue, Lautan nyelem itu kali buat ambil payungnya dan lo tahu alasan gue di sini? Karena payung itu kembali ke gue tadi, Jo. Tadi! Bi Ijah nemuin payung di pager, pas gue baca suratnya, itu dari Lautan dan gue yakin, Lautan pasti di sini. Makanya gue ke sini.”

Air mata kembali pecah untuk kedua kalinya, Cassiopeia terduduk di atas rerumputan dan mendekap lututnya untuk menumpahkan semua air mata yang terbendung. Realitas yang ada benar-benar mencambuk perasaan gadis itu, membuatnya tak dapat menjelaskan betapa rindunya ia kepada pria kecil itu.

“Iya-iya, gue minta maaf ya zamannya William! Udah dong, jangan nangis elo. Ntar gue dituduh yang enggak-enggak lagi sama satpam kompleks.” Johan berdiri, membersihkan pakaiannya yang terkena debu, dan membantu Cassiopeia untuk berdiri. Pemuda itu menemani Cassiopeia untuk kembali ke rumah sebab rumahnya yang satu arah dengan rumah gadis berambut keriting itu.  Setidaknya, ia dapat menemani wanita itu untuk menenangkan diri hingga sampai ke rumah.

“Jadi payung lo itu beneran balik? Katanya Olip, itu payung hoki elo buat jadi atlet anggar kan?”  Kaki mereka berhenti, tepat di sebuah tikungan depan rumah Cassiopeia dan beradu, selaras dengan netra mereka yang bersua. Cassiopeia yang dilempar pertanyaan seperti itu hanya dapat tersenyum, ia masih mengingat bagian terakhir surat dari Lautan untuknya.

Gadis itu mengangguk dan membuat Johan hanya berdecak, lalu mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut keriting Cassiopeia. Tindakan mendadak dari Johan justru membuat gadis itu mati kutu mendadak.

“Hahahaha lucu bener temen gue, ya udah gue balik. Besok gak usah pakai lo-gue kek kalau ngomong. Masa setiap ama gue pakai lo-gue.” Cassiopeia menjulurkan lidah. Enak saja kalau harus berbicara dengan temannya yang satu itu menggunakan aku-kamu. Gadis itu menutup pintu dan berteriak dari dalam, “Pulang sana lo, Jo! Katanya mau ngobatin nyokap!”

“Iya bawel bener temen gue. Omong-omong kalau keburu-buru tuh boleh, tapi sadar sama sendal!” teriak Johan dari depan pagar rumah, membuat gadis itu sontak melihat sendal dan menepuk jidat karena sadar bahwa ia menggunakan dua sandal yang berbeda.

Cassiopeia melangkah masuk ke dalam kamar, melewati bundanya yang menatap Cassiopeia penuh tanya. Gadis itu menutup pintu kamar dan meringkuk di balik pintu, tangannya kini meraih payung hitam miliknya yang di taruh oleh Bi Ijah di atas meja dan menatap lekat-lekat benda yang sepuluh tahun lalu ia kira sudah tenggelam di dasar kali mati.

Ia berdiri, meraih surat yang ditulis oleh Samudera dan terkekeh ketika melihat dengan seksama surat yang pemuda itu tulis.

“Padahal kalau 2014 baru sembilan tahun. Bisa-bisanya udah sepuluh tahun aja.”