Lunatic

Lagu milik Sam Smith terus berkumandang seharian penuh di kepala seorang Hendrian Tanuwijaya. Suara denting gelas yang bertabrakan dan seluruh pengunjung kafe tak menghentikannya merenung.

Genap sebulan, Luciana pergi begitu saja setelah kedua orang tuanya merebut paksa sang putri. Membiarkan Hendrian sendiri bersama Arshaka. Ia tak tahu hendak kemana lagi tubuh ini beristirahat. Kontrakannya tak sama lagi dengan sebelumnya. Bahkan selimut putih di ranjang mereka hanya membawa kembali ingatan saat-saat penuh cinta yang memabukkan jiwa.

“Heng, lo di tanyain Jiza terus. Kok gak dateng di markas katanya gitu,” tutur Yaksa yang kini mengelap satu persatu meja dan mengambil gelas milik Hendrian untuk di isi lagi.

“Gue gak selera.”

“Anak lo gimana sekarang?”

“Ada di rumah Mama. Biarin dia sama Omanya. Gue takut kelepasan kalau lagi kalut.” Hendrian menggumam dan melantunkan sebuah bait lagu yang sedari tadi terputar di kepalanya.

But every time you hurt me, the less that I cry And every time you leave me, the quicker these tears dry And every time you walk out, the less I love you Baby, we don't stand a chance, it's sad but it's true

Hendrian menghentikan senandungan, menghela napas sebelum melanjutkan lirik yang cukup menyiksa untuk dirinya.

I am too good at goodbyes

Yaksa hanya menepuk dahi, menatap bagaimana kacaunya adik tingkat sekaligus teman dari pacar sang adik, Marselia.

Bro gue bilangin.” Yaksa duduk di sebelah Hendrian. Menyampirkan lap kain di pundak lalu menepuk bahu pemuda di sampingnya.

“Emang dunia ini se-lunatic itu. Suka ngebolak-balikin perasaan manusia. Tapi lo jangan sampai ikutan di balik. Anak lo, sahabat lo, butuh lo. Lo mungkin beranggapan bahwa dunia gak butuh elo. Tapi, trust me. Mereka butuh elo.”