Malih and His Breaking Love

Break ... break ... roger di-copy.” Malih mulai berbicara di sebuah alat berwarna hitam yang ia beli bulan lalu. Pemuda itu tak pernah absen untuk mengudara, bercengkrama dan menambah lingkup pertemanan melalui frekuensi radio.

“Break ... break ... dengan Nick yang mengudara, ini Matt bukan? Ganti.” Suara seseorang membalas Malih. Pemuda itu sangat mengenal suara cempreng milik Nick, membuat ia langsung berbincang di frekuensi itu seperti dua orang yang tengah berbicara di telepon. Sesekali kedua remaja yang terseret arus tren itu tertawa saat membahas banyak sekali hal.

Kamu sudah punya pacar belum, Matt? Ganti” tanya Nick yang menginterupsi topik pembicaraan mereka. Malih tak dapat mendengar ucapan Nick dengan jelas. Membuatnya kini bertanya, “Apa? Tadi kamu bilang apa, Nick? Ganti.”

Papa Alpha Charlie Alpha Romeo. Kamu sudah punya?” Baru juga Nick berbicara, suara wanita yang begitu lembut justru terdengar di indera pendengaran Malih. Sepertinya, hari ini adalah keberuntungannya karena menemukan seorang wanita, atau dalam bahasa kerennya disebut young lady.

Malih langsung berdeham, ia mulai menjawab panggilan si young lady dan mengajak gadis itu berbicara. Meli adalah nama samaran gadis itu dan Malih langsung jatuh cinta. Ia langsung mengubah nadanya berbicara, seolah-olah ia menjadi seorang penyiar mahir. Hal itu sontak mengundang gelak tawa Nick. Tanpa mereka sadari, ruangan obrol itu mulai padat dan semua pria mulai merebut atensi Meli dari Malih.

“Matt kepada Meli, mau cari frekuensi yang sepi? Ganti.”

Tak ada jawaban sedikitpun dari Meli. Membuat satu tongkrongannya kini menertawakan tingkah Malih. Pemuda itu justru berceletuk, “Kopdar aja kita. Main gundu nanti, yang kalah aku gebuk sampai pagi.”

Kopdar, alias kopi darat. Beberapa orang juga menyebutnya jumpa darat. Itu adalah kata yang dipakai oleh para penyiar amatir untuk bertemu. Malih adalah orang yang sering sekali melakukan kopdar, bahkan bisa dibilang ia akan selalu melakukan kopdar di malam minggu bersama Nick dan teman-teman lainnya.

Malih mematikan alat komunikasinya, ia lantas merenggangkan ototnya yang begitu tegang. Dan di saat yang bersamaan, sebuah dering telepon masuk, membuat Malih menghela napas dan beranjak menuju meja di ruang keluarga.“Biar Malih aja yang angkat, Bun!”

Malih meraih gagang telepon, mengangkat panggilan dan berkata, “Halo, dengan rumah Malih di sini. Apa yang bisa dibantu?”

Syukurlah kalau ini Malih. Aku mau nanya dong, Malih. Kamu ada rekomendasi lagu gak? Aku mau ke toko kaset tapi bingung mau beli apa.” Suara Amelia yang begitu lembut menyapa indra pendengaran Malih. Membuat pemuda itu justru teringat akan suara lembut Meli yang tiba-tiba menghilang dari frekuensi.

“Amel.”

Iya kenapa?

“Kamu Meli yang tadi nge-break bukan?” Malih berbicara dengar suaranya yang berat, pemuda itu menunggu jawaban dari seberang sembari mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi rambut tipis.

Tetapi Amelia nampaknya sangat panik jika identitasnya ketahuan. Gadis itu sengaja menghilang tiba-tiba dari QSO karena menyadari kesalahannya yang mencoba bermain alat break milik sepupunya dan salah kamar karena ke-sok tahu-an yang ia miliki.

Em ... Malih, kayaknya aku dipanggil Mama, aku matikan panggilannya du—

Wait on there, i will pick you up.” Malih menaruh gagang telepon, lantas berjalan ke kamar untuk mengambil jaket serta kunci motor miliknya.

“Kamu mau kemana, Malih?” tanya Mama saat melihat putranya berjalan keluar dari kamar dengan begitu cepat. Wanita itu mengikuti arah langkah Malih yang mengenakan jaket bomber dengan cepat.

“Mau kopdar, Ma. Malih pergi dulu, ya.”

“Terus toko nanti siapa yang jaga?” Mama nampak sangat kebingungan saat Malih pamit, sebab ini bukanlah jadwal Malih untuk nongkrong di salah satu warung kopi dengan teman udaranya.

“Sebentar doang, Ma. Nanti Malih bawain oleh-oleh. Oke?” Malih menyalakan kendaraan menggunakan kaki, lantas memasukkan gigi, dan menjalankan kendaraan itu keluar dari kompleks perumahannya.


“Amel ... Amel ...,” panggil Malih setibanya di depan rumah Amelia. Acap kali pemuda itu mengetuk gembok rumah Amelia ke pagar besi agar menciptakan suara nyaring dan seseorang yang sangat Malih kenali langsung keluar untuk membukakan Malih. “Bi, Amel ada?” tanya Malih.

“Ada, Kang. Sebentar ya, Bibi panggilkan. Masuk dulu.” Bibi berjalan dan Malih mengekor di belakang wanita yang mengenakan daster itu masuk ke dalam kediaman Malih.

Malih sangat senang jika ia berlama-lama di rumah Amelia, teras dengan kanopi yang membuat teduh, bahkan Malih dapat melihat bagaimana buah mangga yang begitu menggugah selera masih bergantung dengan rapi di pohon. Bahkan udara rumah Amelia sangatlah sejuk dan menambah poin plus agar Malih betah menunggu Amelia di teras rumah gadis itu.

“Padahal gak usah datang juga ....” Suara Amelia membuat Malih langsung menoleh, ia mengulas sebuah senyuman dan membuat bola matanya kini tenggelam di antara kelopaknya. Amelia berjalan mendekat, ia duduk di sebelah Malih dan menatap buah mangga yang ditatap oleh Malih.

“Kamu itu gak pinter bohong kalau sama aku, Mel. Meli, Amelia, kamu harus pintar-pintar cari nama samaran supaya tidak ketahuan,” celetuk Malih yang menarik atensi Amelia.

“Seharusnya kamu itu bilang gini. Break ... break ... roger di-copy, pacar Matt ada yang dengar mohon di-copy.”

“Loh kamu Matt?” Malih tertawa lepas, tangannya tanpa sengaja terulur dan mengacak rambut Amelia.

“Tapi kan kamu bukan pacar aku, Malih. Kita kan temenan.” Mendengar penuturan Amelia membuat Malih langsung meraih tangan Amelia dan mendekatkannya ke dada bagian kiri. Pemuda itu ingin sekali membiarkan Amelia mendengarkan detak jantunganya yang tidak beraturan.

“Kalau cuman teman, kenapa aku selalu deg-degan kayak gini kalau ketemu sama kamu baik di darat maupun di udara?”

“Malih ... kok jantung kamu berdetaknya cepet banget? Kamu kenapa?” Amelia khawatir dengan teman sekelasnya, ia benar-benar menatap dengan seksama netra cokelat Malih.

“Aku mau panggil kamu Papa Alpha Charlie Alpha Romeo, boleh?”

“Maksudnya?”

“Mau jadi pacarku?”