Melihat Cantiknya Lautan
Mobil putih yang dikendarai Samudera kini berhenti, tepat di depan lobi sebuah gedung berpilar besar dan berwarna putih tulang. Burung-burung berkicauan, seolah-olah menyambut kehadiran mereka. Bahkan dedaunan dan bunga berwarna merah muda juga ikut turun menghujani mereka seperti sebuah konfeti.
“Itu katanya satu spesies sama bunga sakura. Tapi aku gak tahu sih bener atau enggak.”
“Oh Tabebuya, emang sih bentuknya udah kayak sakura, namanya juga kayak Jepang, tapi itu bunga dari Brazil seingat saya ini juga beda jauh sama sakura yang kamu maksud,” celetuk Samudera. Ia tahu bunga itu sebab temannya, Richard adalah seorang anak dari florist dan bahkan bercita-cita inin menjadi florist untuk melanjutkan bisnis keluarganya. Samudera turun dari mobil, berjalan ke arah pintu mobil penumpang, dan membukanya dengan senyuman ramah.
“Kamu mau lihat di dalam?” celetuk Cassiopeia saat Samudera sibuk membuka bagasi untuk mengambil tas merah milik Cassiopeia.
Pemuda itu menoleh, memberikan tas itu kepada Cassiopeia, menutup pintu bagasi, lalu menatap kembali ke arah Cassiopeia. Tangan pemuda itu terjulur, menyibakkan rambut Cassiopeia ke belakang telinga.
“Boleh. Saya cari parkiran dulu.” Mobil Samudera melaju, meninggalkan Cassiopeia yang masih berdiri di depan lobi dengan tas merah serta ranselnya. Gadis itu berjalan memasuki gedung, menuju ruangan loker untuk menaruh semua barangnya dan berganti pakaian.
Sedangkan Samudera mengendarai mobilnya memutari gedung, memasuki sebuah lantai di bawah tanah yang menjadi lahan parkir, dan memarkirkan mobilnya di dekat sebuah pilar besar yang ia gunakan sebagai penunjuk keberadaan mobilnya.
Samudera keluar dari mobil, bertepatan dengan sebuah getaran yang terasa begitu keras di dalam kanting celana. Ia merogoh kantung, mengambil si biang kerok yang tak lain dan tak bukan adalah telepon genggamnya. Ia menggeser tombol hijau, lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga.
“Ada apa, Ma?”
“Kamu ada masalah kah? Kok sampai sekarang belum pulang?” Samudera tersenyum lebar, emang sudah biasa wanita itu selalu mengkhawatirkan dirinya. Apalagi setelah kematian sang papa. Wanita itu benar-benar akan memastikan apakah Samudera dalam kondisi baik-baik saja.
“Enggak ada masalah apa-apa kok, Mamaku yang cantik. Cuman Samudera mungkin pulang terlambat. Mau lihatin cantiknya Lautan jadi atlet anggar.”
“Maksud kamu Cassiopeia?” Samudera mengangguk, walaupun mama tak dapat melihat anggukannya. Tetapi, pemuda itu langsung mengiyakan perkataan sang mama. Ia benar-benar ingin melihat Cassiopeia bermain anggar, bahkan mengantarkan gadis itu pulang dengan selamat sampai di rumah.
“Lanjut nanti lagi di rumah ya, Ma. Aku mau masuk ke tempat latihannya dulu.” Telepon langsung diputuskan secara sepihak oleh Samudera.
Pemuda jangkung itu langsung memastikan kembali apakah mobilnya sudah terkunci sebelum ia berlari kecil untuk keluar dari lantai bawah tanah. Netranya terus mencari Cassiopeia, bahkan saat ia melangkahkan kaki ke dalam bangunan bernuansa Prancis itu,