Mencari Validasi

“Cih dasar pria tua itu. Gak pernah tahu apa anaknya ini lagi nyari restu pacarin Felicia?” Sastrawan terus menerus menggerutu, mematikan ponselnya agar tak bisa dilacak oleh Abimanyu dan memasukannya ke saku jaket bomber hitam miliknya.

Kini pemuda itu berada di jalan Rajawali. Tepatnya di sebuah trek balapan liar yang kini telah ramai dengan remaja yang sedang memamerkan motor hasil mereka memodifikasi. Tak lupa, aroma hasil pembakaran rokok memenuhi indra penciuman Sastra.

Pria itu menuruni motor Ninja miliknya, menanggalkan helm full face kebanggaan dan menghampiri Shadam yang kini sedang bersenda gurau dengan rekan-rekannya.

“Nah ini nih, jagoan kita.” Shadam yang menyadari kehadiran Sastra langsung saja merangkul pundaknya dan memperkenalkan Sastra kepada sekumpulan pria di depannya.

“Emang siapa musuh kita?” “Tuh.” Telunjuk Shadam menunjuk ke arah pria yang nampaknya lebih tua dari dirinya. Bisa dibilang seumuran dengan Shadam. Rambutnya yang sedikit keriting dan kini ia duduk di atas motor Ducati sembari menyesap sebuah vape.

“Itu Arshaka Shota. Dia gak pernah bisa dikalahin setelah berhasil mengalahkan Raven yang notabene pemilik daerah kekuasaan ini.” “Raven emang siapa?” “Geng kita. Jadi kamu ada satu kesempatan.” “Apa itu Mas?”

“Kalahkan dia, dan kamu bakal aku kasih jabatan jadi panglima tempur di geng ini, sekaligus Felicia.” Merasa tertarik dengan penawaran yang diberikan oleh Shadam, membuat Sastra langsung menyetujui tanpa berpikir tentang resiko yang harus ia terima.

Sastra hanya ingin mencari validasi, karena ia tak pernah mendapatkan hal itu dari sang Papa. Ia merasa bahwa Abimanyu tak pernah menganggapnya mampu melakukan sesuatu. Jadilah, pemuda itu ingin mendapatkan validasi bahwa dia itu hebat dan dia itu mampu melakukan apapun.


“Sastra nomornya tidak aktif lagi.” Berbeda dengan Sastra yang membara dan santai, pria itu justru merasa sangat risau dengan keselamatan putranya. Nampak dari usahanya yang berulang kali menghubungi nomor Sastra sembari mondar-mandir di rumah Tama.

“Santai ya. Tunggu besok pagi aja.” “Kamu lupa kah Tam? Dulu Kirana hampir diserempet sama pembalap liar?”


“Mas. Tolong aku Mas.” Abimanyu langsung bangkit dari sofanya. Waktu itu Sastra baru menginjak umur satu tahun dan mereka belum berniat untuk memiliki momongan lagi.

“Kamu di mana Kirana? Ini sudah jam sebelas.” “Aku jatuh di jalan Ngagel.” Pikiran Abimanyu meliar, ia khawatir akan keselamatan istrinya itu. Membuatnya segera menaiki motor Ninja yang ada di garasi, lalu memacunya pergi.

Di sanalah ia menemukan Kirana yang kakinya terluka. Dari seberang jalan dapat Abimanyu lihat bahwa kaki gadis itu terluka namun tak mengeluarkan darah.

“Jangan jalan! Lihat kaki kamu.” Gadis itu tak menghiraukan apa kata Abimanyu dan justru melihat pergelangan kakinya.

“Kok?” Kirana segera lunglai begitu saja ketika melihat bahwa benda putih yang ia lihat samar-samar adalah sebuah tulang. Untung saja dengan segera Abimanyu mengangkat tubuh Kirana dan membawanya menepi.

“Tama. Tolong saya, bawakan mobil. Kirana kecelakaan. Kirana tolong dengar saya.” Pria itu terus menerus menepuk pipi Kirana agar gadis itu tak pingsan.


“Iya, gue tahu lo setakut itu. Tapi tahan ya. Gue berani taruhan, Kirana ngelindungin anak kesayangannya dari surga.” Namun setelah Tama berkata seperti itu, sebuah panggilan masuk ke ponsel Abimanyu. Membuat pria itu dengan segera mengangkatnya dan raut wajahnya berubah menjadi ketakutan.

“Kita ke rumah sakit sekarang. Itu bocah jatuh dari motor.”

© hvangrcnjun ; 2021