Menjadi Dewasa itu Melelahkan

Langkah gontai Samudra kini mulai mendekat ke arah ranjang. Tubuhnya amat sangat lelah setelah menghadiri pemakaman teman satu kampusnya, Rebecca.

Rasanya, daya magnet kasur itu sangatlah kuat hingga tubuhnya kini terbanting bebas ke atas benda empuk dengan balutan sprei berwarna kelabu itu.

“Dek, cuci kaki dulu. Kata Ayah pamali kalau dari makam gak cuci kaki.” Omelan nyaring seorang pemuda yang sangat Samudra kenal tak ia hiraukan begitu saja. Sangat malas tubuh ini untuk berpaling dari sana untuk membasuh kaki.

Hingga tubuhnya kini merasakan sedikit goncangan, membuat dirinya kini menoleh dan mendapati sang Ayah yang masih mengenakan baju seragam dokternya tengah mengusap puncak kepala pemuda bergigi kelinci itu.

“Ayah tumbenan udah pulang?” Samudra terlonjak, lantas beranjak dari ranjang untuk membasuh kedua kakinya di kamar mandi. Sedangkan Bumi kini melangkah, mendekati pintu kamar mandi yang tidak tertutup.

“Iya, tadi Ayah dapat kabar ... temanmu sama temannya Benua meninggal ya?” Samudra mengangguk. Dirinya merasa bersalah setelah ikut andil mengeluarkan kalimat yang tak sepantasnya itu kepada Rebecca walaupun tidak secara langsung.

“Bunuh diri itu memang jalan pintas buat menyelesaikan sebuah permasalahan. Ayah sering banget nemuin kasus ini setiap jaga di rumah sakit. Ada yang menyayat nadi, menggantung diri, atau ya kayak Bundamu ....” Bumi menghentikan bicaranya, teringat insiden yang terjadi kepada sang istri saat itu. Yang membuat dirinya hampir kehilangan satu orang lagi selain Langit.

Bumi memejamkan matanya sebentar, lantas menyenderkan kepala ke daun pintu dan menarik napas berat sebelum melanjutkan pembicaraannya

“Kamu pernah nanya kan? Jadi dewasa itu rasanya gimana?” Samudra mengangguk. Dirinya masih ingat momen itu.

“Ya gini. Berat. Mungkin kamu belum ngerasain sekarang, atau mungkin baru ngerasain. Tapi Ayah setiap lihat Benua, Ayah selalu merasa bahwa dia mulai memasuki masa dewasa yang sesungguhnya.”

“Kamu akan merasa lelah akan namanya kepergian, patah hati ketika realitas berbanding terbalik dengan ekspetasi. Dulu pas kamu masih kecil gak kepikiran. Tapi masuk masa dewasa, kamu bakal ngalamin itu.” Bumi mendekat, lalu menarik tubuh Samudra kedekapannya.

“Jaga Benua buat Ayah, ya. Dia sekarang lagi terpukul banget. Nanti Ayah panggil psikiater yang biasanya nanganin si Benua. Oke?” Bumi tersenyum dan menepuk bahu putra bungsunya itu dengan bangga.

“Kamu juga udah dewasa sekarang. Ayah bangga sama kamu.”