Mimpi
Jiza membuka mata, menatap langit-langit rumah sakit yang terasa asing di pandangannya.
Pemuda itu tak dapat bersuara karena seluruh alat medis yang terpasang, dari selang ventilator hingga selang saluran makan. Pemuda itu bingung, berusaha untuk bergerak hingga oksimeter yang terpasang di jemarinya terlepas dan menciptakan ritme acak di monitor.
“Jiz, lo udah bangun? Astaga lo ketinggalan banyak cerita.” Arga memasangkan kembali oksimeter di jemari Jiza. Pemuda itu masih berusaha untuk berkomunikasi namun nihil. Arga tak tahu dan justru hendak pergi menuju meja perawat sebelum akhirnya Jiza meraih pergelangan tangan Arga.
“Kenapa? Iya gue mau bilang sama suster dulu kalau akhirnya lo siuman setelah hampir sebulan tidur.” Jiza mengerutkan dahi dan menatap sahabatnya itu hingga akhirnya, Arga menyadari sesuatu. Pemuda berwajah bule itu memberikan ponselnya, membuka note untuk corat-coret dan membiarkan Jiza mencoret-coret apa yang ingin ia katakan.
Pacar gue mana?
“Pacar? Lo gak punya pacar, Jiz.”
Seli pacar gue.
Tepat disaat yang bersamaan, dokter memasuki bilik Jiza untuk mengecek keadaannya.
“Sepertinya, Rajiz kalau tidak ada masalah, besok bisa dipindahkan.” Dokter itu mengalungkan stetoskopnya dan meninggalkan Jiza yang kini telah terbebas dari ventilator dan selang makan. Kecuali selang oksigen serta monitor jantungnya yang srtia berbunyi.
“Bang, lo utang cerita.”
“Istirahat aja dulu.”
“Jawab pertanyaan gue. Ini tanggal berapa?”
“17 Agustus. Lo sebulan koma cuma gara-gara roti selai kacang buatan Seli.”
“Hari ini, Seli paskib jadi pembawa bendera.”
“Kok lo tahu, Jiz?”
“Dibilang gue pacaran sama Seli.” Jiza mempertegas kalimatnya namun membuat pemuda itu lemas.
“Galak bener. Lo tuh baru siuman, gak usah sok keras. Udah ya gue mau keluar dulu.” Arga berjalan keluar dan tepat di saat itu, Seli memasuki ruangan di mana Jiza berada.
“Jiz! Gue minta maaf banget ya.”
“Gimana paskibnya? Gak ngebagongkan?” Sebuah pelototan tajam ia terima dari Seli.
“Kaga. Gue cuman kemarin malem tuh mimpi.”
“Mimpi?”
“Mimpi lo takut operasi ACL. Gue gak tahu kenapa semenjak lo masuk RS, gue selalu mimpi itu.” Jiza tersadar akan sesuatu, lalu mengenggam tangan gadis di depannya itu.
“Gue kira, gue mimpi. Ternyata beneran mimpi.” Jiza tertawa walaupun masih sedikit kesulitan.
“Gue kira, gue beneran jadi pacar lo, Sel. Ternyata enggak ya?”