Mimpi Abim
Abimanyu kini berada di tempat yang entah berada. Ia tak tahu sekarang ia berdiri karena isinya hanyalah sebuah taman yang sangat indah.
Pria itu masih setia mengenakan piyama tidurnya, dan kaki telanjangnya berjalan mengikuti kata hatinya. Hingga ia menemukan seorang wanita yang duduk di tepi kolam sembari bermain air.
Abimanyu masih ingat dengan bentuk tubuh dan rambut mendiang istrinya dan sontak begitu saja ia memanggil wanita itu, “Kirana?”
Sang pemilik nama menoleh, tersenyum dan langsung berdiri karena ia merasa bahwa waktunya tak panjang.
“Mas Abim. Temani Sastrawan untuk kali ini saja. Dia butuh kamu. Turutin permintaannya juga.”
“Tapi Sastra akan marah jikalau saya meninggalkan Shakila.”
“Bilang sama Sastrawan, Shakila aku temani Mas.”
Seketika pandangan Abimanyu menghitam dan ia terbangun begitu saja dan rupanya hal itu hanyalah mimpi.
“Itu kenapa lagi ramai-ramai. Sudah jam satu juga.” Abimanyu mengusap wajahnya, berjalan keluar dari kamarnya dan menemukan Sastra yang berdebat dengan Shakila dan Tama.
“Ada apa?” Ketiga orang itu terdiam. Sedangkan Abimanyu menuruni anak tangga dan teringat kata Kirana di mimpinya.
“Ini aku mau keluar Pa. Please ini urgent banget.” “Geng kamu kena serang?” Sastra hanya menggeleng. Lalu memandang sang Papa dengan tatapan memelas.
“Felicia pacar aku hilang. Aku punya firasat buruk.” “Udah Mas, lagipula Felicia udah dicari sama geng Mas Sastra kan?” Shakila tetap menahan sang kakak untuk pergi. Karena gadis itu merasa bahwa sang kakak belum bisa melawan apapun dengan tangannya yang digendong itu.
“Papa bantu carikan.” “Terus Dek Kila gimana Pa?”
Shakila mengalah dan ia menjawab pertanyaan kakak laki-lakinya itu, “Tenang aja. Mama pasti nemenin Kila, Mas. Lagipula, aku ada Chou.”
“Nah, masalah selesai bukan? Sama Papa saja kamu.” “Itu Mas Shadam ada di depan udahan Pa ....” Abimanyu mengeluarkan kunci motor baru milik putranya itu.
“Kamu belum pernah rasain balapan sama Papa kan?” Sastrawan sumringah. Walaupun dia belum bisa mengendarai motornya, ia masih dapat membonceng bukan?
Jadilah pemuda itu keluar rumah, membuka gerbang dan berkata kepada Shadam.
“Papaku ikut cari. Kamu sudah dapat info dari anak-anak belum Mas?” “Belum. Coba tanya si Shota.” Pria itu mengeluarkan ponsel dari kantong bombernya. Menekan kontak WhatsApp bertuliskan 'Ashoka Shota' dan menghubunginya.
“Halo, Sho. Ada info?” “Ada, di Jalan Raya Manyar. Ada tawuran tadi antar geng. Kata warga sekitar ada gadis salah sasaran. Sekarang dia udah di RS Manyar.” “Oke, makasih.” Sastrawan mematikan panggilan dan menatap sang Papa yang kini memanaskan motor Ducati hitam itu.
“Ke RS Manyar, Pa.” “Loh kok ke RS? Ngapain? Adekku gapapa kan?” Pertanyaan berbondong terlontar begitu saja dari mulut Shadam. Kakak mana yang tidak panik ketika sang adik yang menghilang tiba-tiba berada di rumah sakit.
“Adikmu kena sasaran tawuran geng. Udah yuk buruan.” Sastrawan mengenakan helm full face kebangaannya dan menaiki jok Ducati sang Papa.
“Mas Shadam depan.” Sastra berteriak, mengomando rekan satu gengnya itu agar menjalankan motornya terlebih dahulu dan rupanya, Shadam kini memacu kendaraannya dengan sangat kencang.
“Pa, susul Pa! Dia habis mabuk.” Abimanyu langsung memasukkan gigi dan melajukan motornya pelan karena tak mau membuat kegaduhan di komplek rumah. Hingga saat ia memasuki jalan raya, kecepatan motor itu mulai menggila dan membuat Sastra terkejut. Rupanya sang Papa juga memiliki kemampuan mengendarai yang sama dengan dirinya.
“Kamu kemarin jatuh gara-gara lupa rem kan?” Sastra hanya terkekeh. Rupanya sang Papa sudah memasang intercom di helm miliknya.
“Malah cengar-cengir kamu. Iya atau iya?” “Iya Pa, lupa ngerem terus kepeleset gitu aja.” “Nih Papa ajarkan kamu bagaimana kendaliin motor kecepatan tinggi.” Abimanyu menutup visor helmnya dan meminta Sastrawan untuk bersiap karena didepan akan ada jalanan berbelok.
Tepat saja, pria itu langsung membelokkan motornya dan sedikit menukik. Membuat jalanan aspal itu terhiasi dengan bercak ban yang bergesekkan.
“Kece bener Papaku. Itu Pa! Temenku.” Sastrawan segera menunjuk setelah melihat Shota dan pasukannya berdiri di pinggir jalan. Tepatnya di depan RS Manyar. Membuat Abimanyu dengan segera menginjak rem tangannya dan membuat ban belakang motor itu melambung sejenak.
“Motorku ....” Shota tercengang melihat motornya yang kini di bawa sedikit brutal. Karena jujur,ia jarang sekali melakukan atraksi di jalanan menggunakan motor itu. Hanya dengan motor KLX miliknya saja, ia berani melakukan hal itu.
“Oh kamu yang kasih motor ini ke anak saya?” Shota semakin terkejut ketika mendengar apa sang pengendara itu katakan hingga Sastrawan menjelaskan siapa sang pengendara motor itu.
“Oh gitu. Ya udah selagi bukan lo yang bawa. Jangan sampai Jackie gue lecet ya. Gue dapet info lagi dari anak-anak barusan. Ternyata itu bukan Felicia yang lo maksud.”
“Terus ini Shadam mana? Dia yang paling kenceng di sini.” Hingga sebuah sirine ambulan memasuki rumah sakit. Membuat Sastra dan Shota saling bertatapan. Seperti mendapat komando, mereka langsung menuju motor Sastra, menyalakan motor itu dan mengikuti mobil putih itu yang berjalan menuju pintu UGD.
“Mas Shadam! Astaga Mas, kowe kenapa?” Betul sesuai tebakannya. Rupanya orang yang ada di dalam ambulan itu adalah Shadam Darmawangsa yang kini penuh dengan luka dan darah.
“Adikmu ga ada di sini. Kenapa malah kowe Mas?” Pria itu tak menjawab dan langsung saja menerima tindakan medis.
“Memulai CPR! Satu, dua, tiga ....” Suasana sangat ricuh. Kini pikiran Sastra terpecah belah, satu memikirkan kemana perginya Felicia, dan satu lagi memikiran tentang keselamatan Shadam.
“Sastrawan!” Abimanyu kini memasuki UGD. Mendapati putranya yang kini terduduk di lantai rumah sakit sambil mengopek kulit mati bibirnya dengan tangan kanan dan Shota yang kini mondar-mandir merisaukan mantan rivalnya itu.
“Gimana?” “Iya itu Shadam, Om.” Shota ikut duduk di sebelah Sastra, melepas topi bucket miliknya.
“Feli sekarang di mana?” “Mas Sastra!” Sastrawan segera berdiri setelah mendengar suara yang tak asing itu dan tepat saja, Felicia berlari menghampiri pemuda itu dan mendekapnya.
“Ketemu di mana kalian?” tanya Shota kepada rekan-rekannya yang bertubuh kekar itu. “Di satu gedung bekas TK.”
“Mas Sastra ... Mas Shadam gimana?” Sastra hanya diam. Entah mengapa kini ia sangat kesal dengan kekasihnya itu.
“Kamu pergi semalem ini ngapain? Alasan Masmu mabuk?” Sastra mendorong bahu kekasihnya dan menatap netra gadis itu lekat-lekat.
“Mas Sastra ....” “Kenapa? Sastra tidak mau kehilangan kakak sekaligus ketua Raven. Dengan sikap kekanak-kanakanmu itu justru membuat semuanya kacau!” “Sastrawan ....” Abimanyu tak bisa memisahkan pasangan itu. Justru ia mengajak rekan-rekan Sastra untuk pergi ke kafetaria hanya untuk membeli kopi.
“Mas Sas ... Mas Sastra kenapa berubah?” “Berubah? Di mana lagi Sastra berubah? Kamu selalu berkata seperti itu. Kemana sifat kamu yang sayang sama kakakmu?” “Fine! Kita berhenti sampai di sini. Toh Mas Sastra pacaran sama aku setelah menang taruhan kan? Jadi sekarang sana pergi.” Gadis itu mendorong tubuh Sastra. Sastra tak menjawab pernyataan kekasihnya itu untuk putus dan langsung berlalu begitu saja. Menyusul sang Papa dan rekan-rekannya.
“Iya intinya seperti itu. Saya memang saat SMA pernah jadi ketua geng motor di Jakarta. Kenapa Sastrawan? Putus?” Pertanyaan yang terlontar oleh Abimanyu justru membuat Sastrawan semakin kacau dan berakhir dengan menendang satu bangku besi di kafetaria itu hingga membuat kericuhan.
“Udah. Diem di sini aja lo, Sas. Gue udah minta satu anak Raven buat temenin Felicia sama ngabarin kita. Nah ini ngabarin.” Shota menggeser tombol panggilan dan mengaktifkan pengeras suara agar seluruh orang mendengar.
“Ketua Raven gugur guys. Dokter udah angkat tangan.” Sontak saja, Sastrawan semakin kecewa dengan dirinya dan kini meminta Marlboro milik Shota dan berjalan keluar dari rumah sakit. Yang pastinya diikuti oleh Abimanyu.
“Kalian di sini saja. Biar saya yang mengejar Sastrawan. Pesan lagi terserah, nanti saya bayar.”
“Sastrawan.” “Kenapa lagi dan lagi aku gagal. Dulu Mama, sekarang Mas Shadam.” Pemuda itu memetik sigaretnya dan menghembuskan ke udara. Hubungannya hancur dan kini gengnya kehilangan sang pemimpin.
Abimanyu mengambil sekotak sigaret itu dan melihatnya. Lalu mengeluarkan Marlboro merah dari kantong jaketnya dan menyulutnya dengan api dan mengisapnya.
“Sejak kapan Papa ngerokok?” tanya Sastra yang kini teralihkan dengan sang Papa yang menemaninya menghabiskan selinting rokok.
“Banyak yang gak kamu ketahui tentang Papa. Sekaligus di hari saat kematian Mamamu, Sastrawan.”
“Papa juga ikut terpukul seperti kamu sekarang saat kematian Mamamu dulu. Itu buku jurnal yang kamu kasih, buku milik Mama saat awal pernikahan. Memang Papa dahulu menikahi Mama kamu awalnya untuk balas dendam kepada kakekmu. Tapi karena gelang ini. Papa tahu bahwa Mamamu adalah gadis yang Papa cari.” Abimanyu menunjukkan gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebuah gelang tali yang tersimpul sederhana.
“Kamu pasti heran ya kenapa Papa bisa menemani kamu sampai seperti ini? Semua karena permintaan Mama kamu di mimpi. Dia juga bilang, Shakila akan selalu dia lindungi.”
Sastra terdiam. Ia tak tahu hendak menimpali sang Papa dengan apa.
“Papa minta maaf. Kemarin Papa kelepasan melepaskan adikmu. Kamu tahu dari Om Tama ya setelah kita bertengkar itu Papa pergi? Iya Papa ke tempat kesukaan Mama kamu. Merenung.” Pria itu hanya tersenyum dan kembali menghisap sigaretnya.
“Udah gitu doang?” Sastra hanya menatap trotar dengan tatapan yang sedikit marah. Emosinya memang tak stabil dan Abimanyu menyadari hal itu.
“Papa tahu kamu mau pukul dari tadi saat bertengkar dengan Felicia. Sekarang sini lemparin semua ke Papa.” Sastrawan hanya menghela napas dan menurunkan kembali emosinya.
“Gak usah Pa. Udah yuk masuk lagi.” Sastrawan mengalungkan tangannya ke bahu sang Papa. Membuat Abimanyu tersenyum dan mengacak rambut anak laki-laki yang kini sudah lebih tinggi daripada dirinya itu dan memasuki rumah sakit.
© hvangrcnjun ; 2021