Mimpi Terakhir
Hampir satu minggu telah Seli lalui dengan latihan padat untuk menjadi pasukan . Kantung plastik kian penuh dengan bintang-bintang buatannya serta mimpi Jiza yang kian hari kian sering datang menyapa seolah-olah ia merasakan bahwa dirinya tengah berpacaran dengan pria seratus delapan puluh senti tersebut.
Namun di hari ini, Seli terbangun dan berteriak. Napasnya menderu dan pikirannya kacau seakan-akan ia membayangkan suatu hal.
Jiza terjatuh saat perlombaan dance dan dia berteriak kesakitan.
“Seli, lo kenapa?” Mika yang kini menginap di rumah Seli hanya bisa menatap sahabatnya itu dan berusaha menenangkan. Gadis itu tak tahu mengapa Seli kini menarik bantal dan menangis.
“Gue mimpiin Jiza cedera pas ikut lomba dance DBL dan gue kepikiran Jiza.”
“Udah, Sel. Tenang. Besok sepulang dari upacara, kita jenguk Jiza. Kelihatan banget, lo kangen Jiza.”
Keesokan hari “Sel! Sorry gue lancang. Gue tahu, lo sama Jiza cuma temenan kan?” Seli yang baru saja melepas peci serta setangan leher justru terkejut dan mengangguk.
“Gua sebenernya suka sama lu, Sel. Gimana kalau di hari kemerdekaan ini, gue memerdekaan perasaan gua juga? Alias mau gak lu jadi pacar gua?” Seli hanya terdiam, lalu tersenyum dan melepas genggaman tangan Chesna.
“Sorry, Ches. Gue emang di sini gak jadian sama Jiza. Itu karena kecerobohan gue yang buat dia sekarang masih di RS. Tapi, maaf banget ya. Gue lebih sayang dia.” Chesna langsung menundukkan kepala dan membuat Seli kelabakan.
“Eh Ches, bukan berarti gue gak sayang sama lo. Gue juga sayang sama lo, gue juga sayang sama anak Bumilangit lainnya. Tapi, cuman sebagai sahabat. Beda sama Jiza.” Tepat setelah Seli selesai bicara, Echa berteriak kepada Seli.
“Kata Arga, Rajiza udah siuman!”
“Beneran? Astaga doa gue.” Lutut Seli melemas dan gadis itu langsung berjongkok memeluk kedua kakinya. Ia tak menyangka bahwa tepat di origaminya yang seribu, Jiza kini tersadar.
“Mau ke tempat Jiza? Gue anterin,” tawar Chesna sembari mengulurkan tangan.
“Jiz! Gue minta maaf banget ya.”
“Gimana paskibnya? Gak ngebagongkan?” Sebuah pelototan tajam ia terima dari Seli.
“Kaga. Gue cuman kemarin malem tuh mimpi.”
“Mimpi?”
“Mimpi lo takut operasi ACL. Gue gak tahu kenapa semenjak lo masuk RS, gue selalu mimpi itu.” Jiza tersadar akan sesuatu, lalu mengenggam tangan gadis di depannya itu.
“Gue kira, gue mimpi. Ternyata beneran mimpi.” Jiza tertawa walaupun masih sedikit kesulitan.
“Gue kira, gue beneran jadi pacar lo, Sel. Ternyata enggak ya?” Seli mengerjap, dan ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kantung plastik yang berisikan ribuan bintang. Seli berjalan ke sisi nakas dan mengambil stoples yang telah terisi origami bintang separuh. Lalu memasukkan bintang-bintang dari kantung plastik hingga penuh.
“Gue udah nolak Chesna buat pacaran sama gue. Karena gue tahu, diri gue ini udah jadi pacar lo, Jiz. Setiap bintang ini, ada harapan gue buat lo siuman, terus semua mimpi gue yang gak tahu apakah lo juga ngalamin atau enggak. Satu lagi, di setiap bintang ini ada harapan gue biar bisa sama lo.”
“Maksudnya?” Seli mengambil sebuah bintang berwarna pink dan memberinya kepada Jiza. Membiarkan pemuda itu membuka dan membaca tulisan yang ada.
“Gue bermimpi, Jiza genggam tangan gue pas pacaran di PIM. Itu pacaran kesekian kita tapi jadi pacaran terakhir karena setelah itu Jiza harus sibuk latihan. Dia nyuruh gue buat bolos pas DBL nanti.”
Seli lanjut memberikan sebuah bintang berwarna kuning dan berkata, “Ini mimpi terakhir gue, semalem.”
“Gue kesel gak ada duit dan gue niatnya mau balik, tapi Jiza ngelarang gue. Oh gue tahu ini alesannya apa.” Jiza melipat origami itu dan memberikannya kepada Seli.
“Kenapa?”
“Gue punya kartu akses yang bisa buat dua orang. Gue juga larang elo, karena gue takut lo kenapa-napa di tangan musuh yang bakal main nanti.” Jiza mengenggam pergelangan Seli dan meniupnya, sama seperti yang ia lakukan di mimpi.
“Tapi itu gue tulis di bintang warna kuning karena gue menganggapnya mimpi buruk.”
“Gak pa-pa asalkan gue tahu sesuatu.”
“Apaan?”
“Kalau lo nolak Chesna buat gue. Gue ngerasa cukup istimewa, padahal gue baru nembak lo di mimpi.”
“Enggak. Lo gak nembak di mimpi.” Seli menggeleng dan mengusap punggung tangan Jiza.
“Gimana-gimana?”
“Gue hapal detail cara lo nembak sampai ke playlist buatan lo. Ya udah gue bikin aja lengkap sama fotonya. Fotonya lo ambil dari Pinterest kan?” Jiza tertawa dan mengacak rambut Seli dengan tangan kekarnya.
“Tahu aja lo. Coba lihat.” Seli mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sebuah foto.
“Salah lo. Tanda tanyanya harus tiga. Lo bikinnya cuma dua.”
“Rese banget, ih. Balik lagi yang rese.”
“Ya udah sana balik. Gue belum bisa anterin lo. Nanti kalau udah pulang, gue anterin dua puluh empat jam non stop muter-muter Jakarta.”
“Bawel. Iya-iya.”