Ngambek
“Kamu kenapa, Echa? Kamu beneran sakit atau masih kesel di suruh kerjain soal trigonometri?” Arga terus mengoceh. Sedangkan Echa masih setia dengan diam dan memalingkan wajahnya dari Arga. Seolah-olah Arga telah melakukan kesalahan terbesar di muka bumi ini.
Iya, Echa masih kesal dengan overthinking-nya tentang Arga dan kota kecil di Kanada itu.
“Am I doing something wrong, babe? Just say that, please.”
“Yes, you are. Ini semua tentang pertanyaanmu tadi pagi.” Echa menatap Arga. Matanya berkaca-kaca dan pikirannya sedang kalang kabut entah ke mana arahnya. Membuat Arga kini tertawa dan menangkupkan wajah gadis di depannya.
“Astaga itu masih rencana studi aku sayang ... aku juga belum tahu pasti mau ke mana. Mungkin kalau gak ya masuk ke Parahyangan.”
“Beneran ke Universitas Parahyangan?” Echa memastikan dan menarap netra coklat hanzel milik pria kebanggaannya itu lekat-lekat. Tatapan itu sangat misterius. Bahkan Echa tak menemukan jawaban atas pertanyaannya tadi dari binar mata Arga.
“Kita masih kelas sepuluh, Echaku sayang. Kita bisa merencanakannya tetapi Tuhan yang bisa menentukan apakah dia akan menerima pengajuan rencana kita, atau dia akan menolak rencana yang kita berikan.”
Echa tertawa mendengar penjelasan Arga. Lalu mendekap pemuda itu dengan erat agar ia tak pergi jauh.
“Oh iya, besok Kamis kamu jadi berangkat pelatihan kader remaja?” “Iya, kamu ikut kan?” Arga mengangguk lalu mengacak rambut Echa.
“Peraturan sekolah nomor lima belas gak boleh pacaran yang berlebihan. Jadi aku cuman acak rambutmu. Kalau boleh malah aku acak-acak rambutmu.” Arga lagi-lagi terkekeh. Menunjukkan wajahnya yang manis di balik kaca mata bundar yang bertengger menghiasi wajahnya.
“Iya-iya. Udah sana balik. Lihat tuh, Renjana udah lihatin kamu sampai geleng-geleng.” Echa menunjuk ke arah Renjana, si tertua dari triplets icikiwir yang kini menggelengkan kepalanya heran.
“Ngapa lo lihat-lihat?” “Ya gue kudunya nanya sama lo bujang, lo tuh di cariin sama kembaran gue. Ternyata lo di sini.” Arga beranjak lalu meninggalkan sebuah kertas dengan sebuah tulisan. Ketika Echa mengangkatnya, terdapat lima bungkus Biskuat rasa coklat.
Di makan. Kamu jangan sering-sering mikirin hal aneh sampai se-abad sendiri. —Arga
Echa terkekeh, membuka satu bungkus Biskuat dan melahapnya.
“Bisa aja Arga.”