Pamit
“Kyra!” Yehezkiel langsung memelukku ketika aku membukakan pintu apartemenku. Membuatku seketika menoleh ke kanan dan kiri, memastikan agar tak ada satupun orang yang melihat.
“Kiel ... masuk dulu. Kamu ini kenapa?” “Kangen sama Kyra.” Aneh. Padahal baru saja tadi pagi kami bertemu di sekolah dan saling beradu rayu di perpustakaan.
“Kenapa? Kamu gak suka? Aku pulang aja ya.” Ia berbalik dan aku memeluk tubuhnya. Meminta pria itu tak pergi kemana-mana lagi. Yehezkiel membalik badan, dan melepaskan kalung yang terpasang di lehernya. Mengalungkan kalung perak itu di leher jenjangku.
“Maaf. Gaji pertamaku baru bisa aku beliin kalung perak buat kamu. Itu ada satu cincin bertuliskan namaku. Sedangkan di aku, liontin cincinnya atas namamu. Kalau liontin cincinnya mah emas putih. Ya buat kita besok lima tahun lagi menikah.” “Ya gak cukup dong?” “Biarin. Ya udah masuk yuk. Aku ajarin ekonomi sebelum aku pergi.” “Mau ke mana?”
Aku menatap Yehezkiel, mencari jawaban atas pertanyaanku. Hingga pemuda itu tersenyum dan mengusap pipiku dengan lembut sembari tangannya yang lain menutup pintu apartemen.
“Aku mau perjalanan ke Jakarta besok jam sepuluh. Persiapan buat besok konser di salah satu SMA. Nirwana yang jadi bintang tamu utama.” Pria itu hanya tersipu malu karena kini aku menggodanya dengan jurus andalanku setiap Yehezkiel mendapat job konser.
“Jangan lupa, besok hari Sabtu tonton di YouTube official ya.” “Pasti lah. Apa sih yang enggak buat Kiel?”
© hvangrcnjun ; 2021