Panglima Tempur
“Astaga Mas Sastra.” Gadis itu menaruh satu keranjang berisi buah-buahan dan langsung duduk di kursi yang ada di samping ranjang milik Sastra.
“Sakit?” Felicia terus menatap pemuda di depannya itu sedangkan Sastra? Pria itu justru mengerucutkan bibirnya dan bermanja-manjaan dengan Felicia.
“Alay. Nih kunci motormu.” Sebuah lemparan kunci mengenai kepala Sastra. Membuat pemuda itu mengaduh kesakitan.
“Mas Shadam ih. Ati-ati toh. Ini lagi, Mas Sastra bisa kayak gini kenapa?” “Ini lagi luar biasa dia. Ngebut pas deketin garis finish eh remnya blong. Ga bisa ngerem tuh anak,” cerocos Shadam yang berhadiah sebuah pelototan sang adik.
“Ya untungnya Sastra jadi panglima tempurnya Raven dan satu lagi Sas.” “Apa itu?” “Raven sama Fiacre jadi partner brodi,” Shadam membuka kaleng Milo dan meneguknya hingga sebuah dehaman mengejut mereka dan tak lupa, membuat Shadam menyemburkan minumannya.
“Jadi kamu yang ajak anak saya ikut balapan liar?” Abimanyu berada di daun pintu. Tangannya mengepal dan nampak sekali bahwa pria itu sedang menahan amarah.
“Bim. Ini RS. Jangan bikin ricuh. Lagi pula anak lo jatuh aja masih haha-hihi gitu, masih slengekan. Berarti ya gak terjadi masalah apa-apa.” Tama yang berada di belakang Abimanyu langsung menepuk bahu pria itu agar tenang dan tidak terbawa suasana hatinya.
“Kalian mau ngapain emangnya?” tanya Tama sembari mendorong sahabatnya untuk masuk ke kamar rawat Sastrawan. “Ngasih hadiah motor punya Sastra, Om.” Shadam menyalami kedua pria itu. Walaupun ia terkenal sebagai ketua geng sekalipun, ia akan tetap berlaku sopan kepada orang yang lebih tua.
“Motor apa lagi Sastrawan? Motor dari Papa kurang?” Abimanyu melipat tangannya dan membuat hawa di ruangan itu menjadi sedikit mencekam. Felicia yang menyadari hal itu segera menepuk bahu sang kakak dan berpamitan.
“Om Abimanyu, Om Tama, Feli sama Mas Shadam pulang dulu ya.” Pria itu hanya mengangguk dan membiarkan mereka keluar dari kamar Sastra.
Suara lagu Taylor Swift yang berjudul Everything Has Changed tak pernah berhenti terputar dari ponsel milik Sastra. Setidaknya lagu itu yang membuat suasana tak terlalu mencekam.
“Ducati Pa. Ducati Panigale.” Abimanyu hanya menghela napas. Dirinya tahu, bahwa itu sebenarnya motor yang ia dan Sastra idam-idamkan. Namun ia masih kesal dengan anak pertamanya itu yang memilih mendapatkan motor itu hingga mengorbankan tangan kirinya kini di pen hanya karena patah tulang.
“Sini kuncinya. Biar Papa yang bawa pulang.” Abimanyu mengulurkan tangannya dan mau tidak mau, Sastra harus memberikan kunci dan karcis parkir motor barunya.
“Papa gak ada ucapan apa gitu?” “Selamat sudah jadi panglima tempur. Tapi Papa tetap tidak suka kamu jadi panglima tempur.”
© hvangrcnjun ; 2021