Payung si Jimat Keberuntungan
“Gue itu bingung sama lo, Cas … lo tuh pas awal-awal bilangnya kesel banget sama Samudera. Yang bilang dia sombong lah, sok pakai Jerman lah, terus cuek lah. Kenapa pas hari pertama sekolah, lo sendiri langsung akrab banget sama dia? Sekarang aja lo udah lihatin itu gelas tanah liat berapa jam?” omel Olivia yang tak terima dengan Cassiopeia yang terus menerus menatap gelas berwarna coklat itu sembari tersenyum.
“Gue kayak lihat sosok Lautan di Samudera hari ini.” Wanita itu menaruh gelas buatan Samudera di atas nakas, lalu berjalan menuju meja dan memandang semua sketsa Lautan yang ia buat dahulu bersanding dengan foto-foto atlet anggar, dan tulisan untuk bersemangat meraih cita-citanya menjadi seorang atlet anggar.
Olivia hanya menghela napas, tak mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh sahabatnya. Ia hanya berjalan menuju rak buku milik Cassiopeia dan meraih sebuah komik yang gadis itu susun sangat rapi walaupun tak pernah ia sentuh setelah mulai membaca novel.
“Ini lo cuman beli Kurogane-kun’s Love Lesson yang bagian pertama?” tanya Olivia. Satu detik, dua detik, tak ada jawaban dari gadis si empunya komik.
Membuatnya langsung menoleh dan mendapati Cassiopeia tengah memandang semua foto atlet anggar yang tertempel di dinding meja belajarnya, mulai dari atlet anggar luar negeri, sampai sekelas Muhammad Haerullah tertempel dengan apik di sana.
Hal itu membuat Olivia menepuk jidat, ia menghampiri gadis berambut keriting itu, dan bertanya, “Lo masih bercita-cita jadi atlet anggar biar ketemu sama Lautan?”
Cassiopeia mengerucutkan bibir, berusaha memikir apa yang akan ia lakukan, dan hanya menggeleng. Ia menoleh kepada Olivia yang menompang tubuhnya dengan tangan yang ada di atas meja dan dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajah gadis itu, ia mulai menjelaskan, “Aku gak bisa jadi atlet anggar kayaknya, payung bintang kebangaanku kan tenggelam di Kali Mati. Takut aja, kalau semisal main anggar, malah aku yang ditenggelemin di Kali Mati nanti.”
Olivia tertawa, heran dengan jawaban aneh Cassiopeia. Ia lalu duduk di atas meja belajar gadis itu, memegang bahu Cassiopeia dengan erat dan berkata dengan penuh penekanan, “Lakukan aja impian lo. Lagipula, lo cerita sama gue kan? Lo udah ikat janji sama dia. Lo jadi atlet anggar, Lautan jadi pilot yang akan nganterin elo kemanapun.”
Cassiopeia berpikir. Benar juga dengan kalimat yang diutarakan oleh Olivia. Ia sudah berjanji kepada Lautan bahwa esok, ia akan menjadi atlet anggar. Apa boleh buat? Ia harus mencoba sesekali untuk menjadi seorang atlet. Tapi, harus darimana ia mengejarnya?
“Udah gampang. Sekarang, ya … lo itu harus belajar, perbaiki peringkat elo di kelas biar bisa masuk ke sekolah atlet. Oke? Oke? Gue mau balik. Udah maghrib ini, ntar nyokap gue ngomel lagi,” tutur Olivia yang mengeluarkan kunci motor dari kantung celana abu-abunya. Benar-benar tak terasa bahwa hari sudah berganti menjadi petang. Bahkan suara teriakan anak-anak kompleks sudah tak terdengar lagi.
Cassiopeia mengantarkan sahabatnya sampai ke depan pintu rumah, membiarkan gadis itu menyalakan motor matik, dan pergi begitu saja meninggalkan rumah Cassiopeia sebelum gelap menyelubungi langit.
Kini Cassiopeia kembali sendiri, Bunda masih sibuk dengan pekerjaannya di stasiun televisi. Tak tahu sampai kapan akan kembali. Jadilah, ia menghampiri dapur untuk mengambil kudapan yang ia simpan di dalam kulkas.
“Emangnya Lautan masih kepikiran tentang cita-citanya jadi pilot?” ujar batin Cassiopeia sembari mencomot satu persatu kudapan rasa cokelat itu. Tetapi justru bayang-bayang Samudera justru menganggu pikirannya.
“Aish! Apaan sih tuh anak malah lewat di kepala mulu. Belajar aja deh.” Gadis berambut keriting yang tengah ia jepit itu mengrutuki dirinya sendiri sembari mengacak-acak rambut.
Dengan kudapan yang setia ia kunyah, ia mulai mengambil buku matematika dan mengerjakan beberapa latihan soal. Lagipula walaupun dia tidak masuk menjadi atlet, dia harus menjaga nilainya bukan?