Perihal Maaf

“Mada di mana? Lelet banget jadi orang.” Gertakan Herawan menggema di seluruh penjuru rumah. Membuat pemuda itu bergegas berlari menuruni anak tangga sembari berpikir apa yang akan dilayangkan kepadanya.

Namanya Madava Enozekiel. Anak kedua dari keluarga Antareksa.

“Maaf, Pa. Tadi ha—” Belum sempat menjelaskan alasannya terlambat, sebuah botol air mineral kosong terlempar mengenai kepala. Membuat pemuda itu terdiam dan menunduk.

“Pa! Jangan gitu ke Mada!” teriak Renjana yang ternyata berada di bawah tangga dan diam-diam menyimak pergelutan kedua pria itu.

“Tutup mulutmu, Renjana! Jangan coba-coba kamu melindungi kembaranmu yang sama saja denganmu. Lelet! Mada, di mana charger Papa? Kamu ambil kan?” Madava beranjak naik, niatnya untuk mengambil kepala charger sang Papa. Namun, pemuda itu teringat bahwa kepala charger itu diberikan kepadanya karena miliknya yang rusak.

“Aku ambil dulu. Tapi, bukannya itu kemarin Papa kasih ke aku ya?”

Seperti biasa. Pria itu membantah dengan nada yang keras. Membuat pergulatan panas terjadi di rumah. Yang pada akhirnya, membuat Herawan pergi begitu saja.

“Kamu ini, bertengkar terus. Kalau Mama sama Papa pisah gimana? Cerai gimana?!” Riska melayangkan tamparan ke paha Madava. Membuat Naufaludin berusaha untuk memisahkan ibu dan anak itu sendirian karena Renjana sang tertua tengah mengejar sang Papa untuk ya, mungkin memarahinya dan mengajak pria tua itu untuk adu fisik demi menyadarkan kesalahannya.

“Maaf, Ma. Tapi kata Papa, Mada harus melawan kalau Mada merasa benar.” Memang benar, Madava diberitahu seperti itu kepada sang Papa, namun keras kepala mereka sama. Sama-sama mau menang, dan sama-sama tak mau mengalah.

Hanya perbedaan terjadi di cara mereka mengakhiri masalah. Madava selalu mengucapkan permintaan maaf. Bisa dikatakan, bahwa Madava adalah orang yang sangat mudah untuk mengucapkan maaf. Daripada sang Papa yang selalu terjebak dengan rasa gengsi.

Itulah kisah Madava, perihal kata maaf yang tak pernah luntur dari dirinya hingga ia memasuki bangku kuliah.

“Maaf. Gue gak sengaja,” ujar Madava sembari menunduk dalam-dalam setelah tak sengaja menabrak seorang gadis.

“Lo gak salah. Ngapain minta maaf? Ini murni kesalahan gue.” Gadis itu tersenyum dan menepuk bahu Madava lalu berlenggang pergi.

Semenjak itulah, Selena mengetahui tabiat Madava yang telah menjadi sahabatnya. Ia selalu meminta maaf, bahkan saat tak sengaja pemuda itu memeluknya untuk menghindari sebuah pengendara motor yang ugal-ugalan.

“Lo tuh malah selametin gue, lo pahlawan buat gue. Dan kenapa lo justru minta maaf?” tanya Selena ketika berada di salah satu kafe untuk belajar bersama Madava.

“Karena bokap gue gengsi minta maaf. Rasanya sakit aja, ngelihat dia susah banget minta maaf. Makanya, gue gak mau orang lain rasain apa yang gue rasain. Dan, ya udah gue selalu minta maaf.” Selena memegang tangan Madava dan mengusapnya lembut. Berusaha untuk menyalurkan kehangatan yang ia punya.

“Meminta maaf itu emang baik kok. Biar gak menimbulkan rasa sakit di dalam hati. Tapi Dav, gak semua hal harus lo minta maafin. Ya emang, ada orang yang bilang kalau maaf itu bukan menunjukkan bahwa lo kalah. Tapi, sesekali lo harus tahu konteksnya, Dav.”

“Maksudnya?”

“Kalau lo ngelakuin suatu kesalahan dan lo ngelihat orang di depan lo udah menunjukkan emosi yang kebalikan dari yang lo pikirkan. Baru lo minta maaf. Itu kalau kata gue,”

“Termasuk yang ini?” Selena memiringkan kepala dan bertanya maksud dari pertanyaan Madava.

“Iya, gue minta maaf. Gue belum bisa balas perasaan lo.”