Pises
Lagu Conan Gray yang bertajuk Astronomy terputar memenuh ruangan berwarna kelabu dengan aksen kayu yang sangat minimalis. Aroma Marlboro merah yang membumbung dari pemuda berambut hitam sedikit panjang itu beradu dengan aroma tubuhnya yang cenderung seperti mawar dan leci. Aroma manis yang tak pernah di tebak dari seorang Arlo Karkata.
Sangat lucu, bahwa nama belakang pria yang kini tengah bergelut dengan rangkaian kata ini tak sesuai dengan zodiaknya yang tak lain dan tak bukan adalah pises. Pemuda itu pernah satu kali protes kepada sang Bunda mengapa ia diberi nama Karkata yang berartikan scorpio namun sia-sia karena wanita itu tak peduli dengan omelan khas pemuda itu.
“Telepon siapa ya ....” Arlo menyandarkan punggungnya yang sedari tadi tegang. Menatap kursor yang setia berkedip tak kunjung menambahkan atau mengurangi kata. Otak pemuda itu mulai panas dan rasanya sedikit berasap seperti sigaret yang terselip di jemari kirinya.
Tulisan itu menggambarkan perasaannya kepada seseorang gadis Oktober yang ia temui saat liburan di Bali. Gadis asal Jakarta yang menetap dan bekerja di Bali sebagai pemandu wisata.
Arlo meraih ponselnya, lalu menghubungi sang gadis Oktober yang ia ceritakan baru saja.
“Hai? Maaf banget Arlo, gue sibuk ngurusin tamu dari Aussie. It's okay?” Suara gadis sangatlah lembut, sampai beberapa kali Arlo suka mengira bahwa ia menelepon nomor yang salah.
“Gapapa, gue cuma mau nanya. Lo ada waktu luang gak? Gue mau ajak ketemuan lo di Beach Walk. Gue mau bicara sesuatu.”
“Oh nanti sore aja, gue udah selesai yang mandu wisata. Kalau mau sambil lihat sunset juga.” Arlo memikirkan tawaran itu dan mengiyakan. Kapan lagi ia dan Okta bisa bertemu setelah bergelut dengan kesibukannya masing-masing.
Arlo teringat sesuatu, ia harus membuat sesuatu untuk memberikan kejutan kepada Okta. Pemuda itu kembali membuka laptopnya, mengetikkan suatu alamat laman di bar pencarian dan membukanya. Pemuda itu sangat lihai mengetikkan setiap aksara dan menciptakan sebuah paragraf penuh cinta dan rasa. Mungkin karena ia sudah sangat sering bergelut dengan puisi ciptaan Khalil Gibran atau milik Tere Liye, pemuda itu sangat teliti dan cermat dalam pemilihan diksi agar tak membuat gadis itu kesulitan dalam memahami.
“Okey selesai.” Pemuda itu menenggelamkan rokok di dalam abu, membiarkan bara api itu padam di antara puntung dan abu di asbak kaca itu. Lalu tersenyum sembari menatap setiap untaian kata yang telah ia ciptakan sebelum ia menekan tombol publish.
“Sorry, Ar. Tadi molor soalnya gara-gara tamunya minta mampir di Joger.” Arlo menatap gadis yang memakai kebaya dan rambut tercepol itu sembari tersenyum. Pemuda itu menghembuskan asap rokok jauh dari Okta dan gadis itu mulai duduk di depannya.
“Jadi mau bilang apa, Ar?” Arlo menyodorkan sebuah tampilan link. Meminta sang gadis untuk membukanya.
https://write.as/d0i3p09cq3mvw22j.md
“Arlo ... are you serious?” Arlo hanya mengangguk dan mengeluarkan sebuah gelang emas putih yang sangat sederhana, menarik lengan sang gadis dan mengenakannya.
“Maaf kalau gue gantungin elo tanpa kejelasan. Maaf kemarin gue gak bisa anterin elo ke rumah temen lo yang di Gianyar. Karena jujur, gue cuma hapal Denpasar doang. Kalau disuruh luar sana, gue takut kesasar.” Oktavia tertawa, dan bangkit untuk memeluk tubuh Arlo.
“Kan gue tour guide, sayang. Ngapain takut kesasar?”
“Ya sudah, caranya biar gak kesasar di hatimu gimana? Aku butuh caranya.”