Problematika Kehidupan
Kembali lagi ke Arga yang baru saja satu bulan kembali ke Jakarta, tanah di mana ia tumbuh. Ia memilih untuk melepas seluruh mimpinya yang ia tinggal di Toronto dan kembali di Jakarta. Menemui tunangannya yang ternyata telah meninggalkan dirinya.
Lalu saat ini, ketika Bumilangit telah berlayar. Ia harus menjadi penengah antara hubungan Hendrian dan Luciana yang retak.
“Aa, Arshaka Aa bawa aja.”
“Kamu mau kemana?” Begitulah kejadian yang harus dilihat oleh Arga di studio. Luciana yang membawa koper besar dan Arshaka di gendongannya. Wajahnya terlihat panik seperti tengah dikejar oleh seseorang. Gadis itu mencium Arshaka dan memberikan bayi itu kepada Hendrian.
“Luci! Kamu mau kemana?”
“Heng, tahan! Di luar gue lihat bonyoknya Luci. Lo gak mau kan digebuk sama bapaknya gegara bawa kawin lari anak orang?” Hendrian terdiam, membuat Arga segera menarik sahabatnya itu untuk duduk dan mengambil Arshaka dari pelukan Hendrian lalu memberikan bayi itu untuk ditenangkan oleh Seli yang tepat sekali sedang berduaan dengan Rajiza.
Problematika kehidupan itu rumit. Tak ada satupun yang dapat menyelesaikan keruwatan ini, termasuk seorang Arga Maharu Awu.
Di umurnya yang menginjak kepala dua, membuat ia merasa bahwa kehidupan mulai banyak ulangan mendadak layaknya sekolah. Ulangan dalam bentuk permasalahan yang harus ia jawab dengan sebuah tindakan dan pastinya harus memikirkan kausalitas di setiap keputusannya. Termasuk yang harus ia hadapi kali ini.
“Ngopi, yuk. Sekalian gue mau ngomong sama lo.” Arga mendorong sahabatnya untuk turun ke bawah seperti orang yabg tengah bermain ular tangga. Menyuruh pemuda itu untuk duduk di salah satu bangku untuk ia tinggal ke kasir. Memesan kepada Americano untuk diberikan kepada Hendrian serta Ice Golden Ginger untuknya.
Pemuda itu kembali dan menemukan Hendrian yang kini tengah menatap ruang obrolannya dengan Luciana dengan tatapan lesu.
“Gak dijawab?” Hendrian menggeleng dan menerima minuman dari pemuda berdarah Amerika itu lalu menyesapnya.
“Gini, Heng. Gue dulu pernah nanya kan sama lo, sama Luci juga. Kalian nikah ini ada restu kedua orang tua atau enggak. Dan kalian jawab gak ada yang tahu.” Arga berhenti berbicara. Pemuda itu menarik napas sembari memikirkan kata-kata yang tepat untuk dilayangkan kepada pria di depannya.
“Gue juga tanya sama Luci, kalau semisal terjadi apa-apa gimana? And she said, dia bakal kasih bayinya ke elo. Dia bakal balik ke keluarganya untuk menyelesaikan masalah yang dia buat. Itu konsekuensinya. Menurut gue, dia emang gitu. Apalagi lo berdua udah emang dikejar-kejar kan sama bapaknya Luci? Teror demi teror di keluarga lo. Sebenarnya itu bukan buat elo. Tapi buat Luci biar balik.”
“Jadi saran gue ya, Heng. Kasih Luci waktu. Kalau emang dia gak balik, gak pa-pa. Lo juga ada Bumilangit yang siap sedia buat rumah lo balik. Anak lo juga bisa, nanti ada Seli atau nyokap gue yang bantu urus.”
“Gue balik aja ya, Ga. Pusing. BTW, makasih traktirannya sama gue nitip Arshaka dulu, ya? Gue takut kalau gue kalap mapah kenapa-napa tuh bocah.” Hendrian beranjak dari tempat duduk, menjabat tangan Arga dengan erat walaupun pandangannya masih sedikit sayu.
“Butuh gue anterin?”
“Gak usah. Gue mau balik jugaan.”
“Kabarin gue kalau udah sampe rumah!” Hendrian mengacungkan ibu jarinya dan langsung memacu kendaraan yang ia tunggangi bak kesetanan. Membuat Arga berdoa agar sahabatnya itu tak mengalami sesuatu hal yang buruk.
Ya, beginilah Arga. Hubungannya saja kandas, tapi ia selalu menjadi penengah untuk hubungan orang lain. Berlagak seperti kancil yang akan memberikan sebuah petuah yang menguntungkan untuk kedua belah pihak.