Rencana Arjuna
“Ngopi di lantai dua aja, Ga. Gur mau nyebat.” Arjuna menghampiri pemuda yang baru saja mengunggah postingannya yang tengah menikmati kopi di salah satu kafe yang lumayan terkenal ....
... ya, bagi mereka. Kafe dengan nuansa taman yang selalu jadi andalan anak Bumilangit saat ini jika budget mencukupi.
Kaki mereka meraih satu persatu anak tangga, membawa tubuh kedua sahabat itu menuju daerah terbuka yang terletak pada satu garis lurus dengan pintu masuk butik milik orang tua Arga yang sekaligus menjadi basecamp Bumilangit.
“Heh anying! Maneh malah ngopi! Celana OR urang gimana?” Arjuna tak acuh dengan teriakan Bagas yang berada di seberang dan berlagak seperti tak mendengar ucapan pria berkulit kecoklatan itu.
Arga hanya tertawa, lantas meraih satu bungkus Mars Brand milik Arjuna dan satu lembar kertas rokok dari bungkus oranye, lantas menaruh segaris tembakau, menggulungnya bagaikan sebuah sushi, dan terakhir ia jilat untuk merekatkan kertas itu.
“Gue kira lo gak bisa ngelinting, Ga,” ujar Arjuna yang nampak seperti pujian dan Arga hanya tersenyum miring sebelum menyulut benda silindris buatannya itu dengan api.
“Gue gini-gini suka lihatin bokap nyebat, Jun. Ya cuman setiap gue mau ngelinting ketahuan Echa ....” Arga menghembuskan asap putih menuju angkasa, lalu meraih gelas kertas yang berisikan kopi dan menyesapnya.
“Oh iya, Ga. Gue punya saran nih. Gimana Bumilangit dijadiin satu komunitas gitu? Kayak jadi e-sport, maybe? Jarang banget loh di sini.” Arjuna menyeruput es americano yang ia pesan, lantas jemarinya mulai bergerak seakan menulis di atas meja kayu itu.
“Gini Ga, kita punya peluang gede. Kayak lo aja punya nama di SMA, ada Chesna juga, lumayan banget kan? Kita bisa sukses di usia muda.” Arjuna mengetuk jemari di meja hingga berbunyi sangat keras. Dirinya sangat bersemangat mengusulkan rancangan ini kepada Arga. Namun bagaimana sang lawan bicara?
Arga hanya mengangguk-angguk, lantas menghisap sigaret itu sebelum menenggelamkannya ke dalam lautan abu yang ada di asbak untuk memadamkan bara api dari batang silindris itu. Pemuda berwajah bule dengan campuran Indonesia tersebut menatap wajah Arjuna, mengabsen setiap inci panca indra yang ada di muka pemuda itu dan tersenyum.
“Thanks for the coffee, Bro! By the way, usulan elongue pertimbangkan lagi ya? Setidaknya sampai Rajiza siuman dulu. Gue mau balik. Oh iya, ambil juga tuh celananya Bagas yang lo sangkutin, besok kelas dia ada ulangan praktek olah raga.” Arga menepuk bahu Arjuna dan meneguk kopinya hingga habis sebelum meninggalkan pemuda bertubuh cungkring itu.
Jujur saja, Arga sendiri masih bingung mau menjadikan Bumilangit sebagai apa. Karena baginya, tongkrongan sudah cukup untuk mereka. Namun, usulan Arjuna sedikit menganggu pikirannya hingga ia kembali ke rumah.