Rumah yang Telah Hilang

“Kapan-kapan gantian gitu dong, Sam. Aku yang main ke studiomu bikin tembikar.” Pandangan Samudera berpaling sejenak ke arah gadis yang duduk di sebelahnya, untung saja jalanan sangat sepi sehingga ia dapat melihat bagaimana angin menerpa lembut setiap helai rambut Cassiopeia. Samudera tersenyum, lantas menghentikan kendaraan ketika ia melihat lampu lalu lintas berwarna merah menyala. Lagu Beautiful yang dinyanyikan oleh salah satu artis Korea, Baekhyun terputar dari radio mobil. Seolah-olah lagu itu tengah memuji kecantikan seorang Cassiopeia Kalandra.

Samudera menekan tombol, membuat kap mobil tertutup dan menjadikan dalam mobil itu begitu gelap. Pemuda itu sengaja melakukan itu, karena ia tak mau Cassiopeia kedinginan karena angin malam. Katanya, “Nanti saya tidak ada teman besok kalau kamu sakit.”

Mobil putih itu kembali melesat, memasuki perumahan yang tak jauh dari tempat mobil mereka berhenti. Kendaraan itu membawa kedua muda-mudi itu menuju sebuah rumah berlantai dua yang cukup asri. Samudera menurunkan rem tangan, lalu membantu Cassiopeia untuk membuka sabuk pengaman sebelum ia keluar untuk mengambil barang milik Cassiopeia yang ada di bagasi.

“Kok kamu tahu rumahku di sini?”

“Kan kemarin saya tanya sama Olivia. Masuk sana, sebelum tetangga nangkep basah,” ucap Samudera yang berdiri dan bersandar di badan mobil Porsche putihnya itu. Cassiopeia mengangguk, dengan satu tangan yang terlambai, ia mendorong gerbang untuk masuk ke rumah dan berkata kepada pria itu, “Kamu juga hati-hati di jalan, ya.”

Atensi Samudera tak luput dari gadis itu hingga punggungnya menghilang di balik pagar. Hingga sebuah sapaan seseorang membuatnya terkejut bukan main.

“Eh ’Den bagus ... kenalin saya Bi Ijah yang ngurus Neng Cassie dari kecil.”

Samudera nenghela napas, ia masih parno jikalau ada seseorang yang memergokinya menaruh payung itu, “Bi Ijah, saya bisa minta tolong gak, jangan panggil saya ‘Den bagus … saya suka keinget Mama saya kalau manggil tikus di rumah soalnya. Panggil saya Samudera aja. Oke?”

“Ohhh namanya Samudera … kenapa ya temannya Neng Cassie selalu gak jauh dari air namanya, dulu Lautan, sekarang Samudera. Masuk dulu, yuk. Bibi mau cerita-cerita sama kamu.” Samudera menurut, mengikuti perempuan yang berjalan di depannya untuk masuk ke daerah pembantu.

Ruangan itu cukup tenang menurut Samudera, setidaknya tidak membuat orang yang ada di atas merasa terganggu. Samudera duduk di sofa, sementara Bi Ijah berjalan ke dapur untuk membuatkan Samudera teh hangat.

“Sebenarnya saya Lautan yang Cassiopeia ceritakan ke Bibi itu. Tapi saya takut aja ketahuan. Gak tahu kenapa.”

“Ih … ngapain takut.” Sebuah pukulan pelan mendarat di paha Samudera, Bi Ijah tersenyum dan mulai bercerita, “Neng Cassie itu sayang banget sama Den' Laut. Dulu dia sampai hujan-hujanan gak mau pulang karena nungguin kamu. Dia kesepian, ‘Den. Dari kecil dulu kalau tidak sama saya, ya sama ayahnya. Bundanya sibuk banget sama pekerjaan dia. Tapi,pas dia umur lima tahun, ayahnya meninggal. Kecelakaan saat pulang kerja. Dia hancur banget pas itu, tapi bundanya gak ada di rumah duka. Beliau sibuk buat laporan kecelakaan suaminya. Setelah itu sepertinya, dia sering banget cerita sama Bi Ijah, dia main sama Lautan lah, dia janji sama Lautan, bahkan nih … dia dulu pernah gambar ‘Den Samudera pas masih kecil.”

Bi Ijah mengeluarkan selembar kertas dari laci meja, sebuah kertas yang tergambar potraitnya yang lain tengah bermain tanah di taman. Bi Ijah memberikan gambaran itu kepada Samudera, meminta pemuda itu untuk menyimpannya. Samudera melipat lembaran itu, memasukkannya ke dalam saku jaket dan menghabiskan teh buatan Bi Ijah.

“Saya mohon banget ya, ‘Den. Baru dua hari ini saya lihat Neng Cassie sesemangat itu. Bahkan hari ini saja dia sampai ngira dia terlambat. Ternyata, kalian satu kelas, ya?” Samudera mengangguk dan menjawab, “Iya, satu kelas dan satu meja.”

“Nah syukurlah. Soalnya saya jarang lihat Neng Cassie seceria itu. Bahkan sama Mas Johan juga gak seceria itu.”

“Iya, Bi. Semoga saja. Oh iya, terima kasih buat teh nya, Bi. Saya pamit dulu, keburu makin malam nanti.” Samudera menyalami tangan wanita itu dan berjalan keluar dari pintu samping menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. Ia seketika rindu dengan papa ketika masuk ke dalam mobil.

Cerita Bi Ijah tentang Cassiopeia yang sayang sekali dengan sang ayah menbuat pemuda itu teringat dengan sang papa. Samudera menyalakan kendaraan, melajukan mobil itu ke sebuah rumah yang masih berada di kompleks peeumahan Cassiopeia sebuah rumah yang berada di blok AH-5.

Rumah itu masih sama seperti beberapa tahun lalu, hanya saja lampu depan rumah yang sedikit remang. Samudera menatap rumah itu dari dalam mobil, hingga seorang pria keluar. Samudera hendak memanggil pria itu, namun teriakan yang lain justru mengurungkan niatnya.

“Eh anak Papa … kenapa sayang? Mau ikut Papa ke tukang nasi goreng?”

Itu kata-kata yang sama. Diutarakan oleh orang yang sama, namun dengan tujuan yang berbeda. Samudera menenggelamkan wajahnya ke dalam lengannya, dahinya mengenai stir mobil, tengah menahan bahunya yang bergetar hebat. Semua situasi ini sangat asing baginya. Ia merindukan semua cinta dari sang papa.

Benar apa yang Richard pernah katakan dahulu saat ia bersekolah di Munich, perpisahan yang sangat menyakitkan bukan karena kematian, melainkan karena perceraian. Kamu akan selalu merasakan pedih ketika posisimu dahulu tergantikan oleh seseorang.

Samudera mengusap air mata, mengambil udara untuk meredakan tangis, dan melajukan kendaraan menjauh dari tempat itu untuk kembali ke rumahnya.