Rumpang-Rampung
“Mahes tunggu!” Tubuhku berhenti mendadak. Rasanya seperti bumi menarik tubuhku dan menguncinya hingga aku tak dapat berkutik satu langkahpun. Suara gadis itu kian mengeras seturut jarak yang mulai mendekat, hingga iris mataku terkunci pada bola mata mengkilat milik Resa.
“Mahes, tolong. Dengarkan aku.”
“Kita adalah sebuah kerumpangan yang telah rampung, Resa. Harus berapa kali saya katakan kepadamu?” Aku meneguk kasar salivaku, berusaha untuk membasahi tenggorokanku yang kering setelah mengeluarkan sepenggal kalimat itu.
“Tapi biarkan aku menjelaskan dahulu. Tolong dengarkan aku.” Aku berusaha menepis tangannya yang mencoba untuk memegang lenganku. Menatapnya kian tajam dan menciptakan distopia di antara kami berdua.
“Doni hanya rekanku. Itu saja.” Aku hanya mendecak tak percaya dengan segala pengakuannya. Bagaimana aku bisa melihat dirinya bermesraan dan juga bercumbu dengan seonggok manusia yang ia sebut sebagai rekan itu?
“Kita itu rumpang, Res. Kita memang dekat sebagai sepasang kekasih, tapi saya sadar bahwa diantara kita terdapat sebuah cela. Saya memiliki ragamu, namun saya tak pernah berhasil mendapatkan hatimu barang sedikitpun. Bukankah merampungkan semuanya ini adalah hal yang cukup pantas demi kebahagiaan kita berdua? Saya tak perlu merasakan kesedihan, dan kamu bisa mendekati rekanmu itu lalu mengajaknya berkencan.” Aku mengucapkan semuanya itu dalam satu tarikan napas. Hingga rasa dingin terasa begitu saja di saat hujan yang mulai mengguyur dan menambah suasana kali ini kian sendu.
“Aku sayang sama kamu, Mahes. Maafkan aku.” Aku cukup muak, dan memutuskan untuk pergi membelah hujan demi meninggalkan gadis itu sendiri dengan semua kesalahan dan penyesalan yang ia perbuat.