Runaway

Surakarta, 2016 “Jo, gue lihat-lihat lo kerja, ya? Mana duitnya! Sini buat gue.” Johan mendorong pria yang tak ingin ia lihat kembali. Papi, itu sebuah kata terlarang yang ia ucapkan setelah belasan tahun bersabar dengan semua kelakuannya.

“Apaan sih Herman? Duit-duit gue jugaan.” Netra Johan sekilas melirik ke arah tangan Herman yang memegang sebuah botol kaca berwarna hijau. Ia tahu apa yang akan pria mabuk itu perbuat.

Herman melayangkan botol itu ke kepala Johan dan langsung pemuda itu tangkis sebelum mengenai kepalanya. Ia benar-benar mengunci pergerakan Herman dan menggiring pria itu keluar rumah, bertepatan dengan sebuah mobil polisi yang tiba bersama Cassiopeia yang berjalan mengikuti salah satu polisi wanita yang turut hadir.

Johan menghela napas lega saat Herman dibawa oleh polisi, namun ia melirik ke arah Mami dan berkata kepada wanita itu, “Mami kebangetan, ya. Pria kayak gitu masih aja mau buat rujuk. Untung Jo kepikiran buat mampir ke rumah setelah pesta sama Cassie. Kalau gak?”

Johan masuk ke dalam rumah, menaiki setiap anak tangga dan masuk ke kamar. Ia meraih tas koper yang dahulu ia pakai saat pergi ke Jerman dengan teman-temannya, dan selepas itu memasukkan semua pakaian ke dalam koper sehingga membuat Mami terkejut. “Kamu mau ke mana, Jo? Di sini aja, ya ....”

“Mau cari rumah yang lebih memberikan Johan arti pulang,” jawab Johan singkat dan menarik tas koper miliknya untuk keluar. Menyusul Cassiopeia yang berdiri di depan rumah dan menatapnya penuh tanya.

“Gue pamit ya, Cas.” Johan mencubit pipi Cassiopeia dan berjalan menelusuri gang. Gadis itu berpikir sejenak, hingga akhirnya ia berlari ke tetangga di depan rumah yang sangat dekat dengannya, meminjam mobil dan membawa kendaraan itu dengan sangat hati-hati karena ia tak dapat menyetir.

“Ya elah, Cas ....” Johan tertawa melihat Cassiopeia yang begitu dekat dengan stir mobil. Membuatnya kini memukul pintu dan menyuduh Cassiopeia untuk turun.

“Lo ngapain sih?”

“Nganter elo ... udah malem tahu, Jo ....” Johan menghela napas, rasanya ia ingin sekali mengacak rambut wanita yang ia sukai itu seperti Samudera lakukan. Tetapi, ia justru memilih untuk menaiki mobil dan memperbaiki pengaturan kursi Cassiopeia yang sangat tidak nyaman. Sedangkan wanita itu memilih untuk naik dan menemani Johan di bangku penumpang.

“Emangnya lo mau tinggal di mana sih, Jo?” tanya Cassiopeia saat kendaraan mereka mulai berjalan keluar dari kompleks perumahan dan berjalan menuju jembatan.

“Rumah pacar lo. Gue dikasih sama Samudera kunci studio dia yang dulu kita main itu. Nah katanya ada kamar di sana. Bisa gue pakai buat pelarian.”


Jakarta, 2019 Langkah kaki yang begitu yakin membawa pria yang cukup kekar itu untuk masuk ke salah satu ruangan yang penuh akan peralatan photoshoot. Johan, yang terpilih sebagai Prince of UPN kemarin malam mulai menyapa setiap orang yang juga mengenakan ID card yang sama dengannya.

“Hai Bang Venzhou ... kita ketemu lagi,” sapa Johan yang menjabat tangan seorang pria bertubuh tinggi. Ia juga beberapa kali menyapa kepada semua mahasiswa yang bekerja di UKM jurnalistik. Bahkan Johan sendiri tidak merasa berada di kampus, sebab semua orang yang nampak sangat profesional.

Johan diarahkan untuk berganti pakaian dan berdandan. Sembari ia berdandan, gadis dengan ID card bertuliskan nama Muthia justru memberikan briefering awal agar Johan tidak kaku saat nanti di wawancarai.

“Jadinya nanti di-upload ke YouTube UPN?” tanya Johan selepas semua riasan sederhana itu selesai. Muthia yang mendengarnya justru mengangguk, ia meraih sebuah mahkota dan memakaikan benda itu ke kepala Johan.

“Sekarang sesi foto dulu, Bang Venzho udah nunggu di luar.”


Sesi foto untuk sampul dan isi majalah benar-benar terasa begitu cepat, padahal Johan sudah mengambil banyak sekali gambar dalam tiga sesi yang berbeda sebelum dipilah oleh tim redaksi.

“Lo ganti baju nyaman dulu, Jo. Habis itu gue wawancarai,” ucap Muthia yang membuat Johan menurut. Ia lantas berjalan memasuki ruangan yang menjadi tempatnya berganti pakaian, melepas apron dan menyisakan kemeja yang ia kenakan.

Pemuda itu melangkah menuju salah satu set di atas karton berwarna putih, ia duduk di atas bangku kayu yang cukup tinggi dan menatap ke arah Muthia yang kini berdiri di belakang kamera.

“Oke, Jo ... kita mulai ya.” Sesi wawancara dimulai. Awalnya, ia mendapatkan pertanyaan dasar dan Johan masih dapat menjawabnya. Namun, saat memasuki pertanyaan keempat, pemuda itu justru mulai kesulitan.

“Apakah keluargamu mendukung secara penuh hingga kamu bisa meraih kesuksesan di usia muda?”

Lidah Johan seketika kelu untuk berbicara. Otaknya kini merangkai kata dan tanpa ia sadari, sebuah air mata justru turun seketika. Muthia yang melihat situasi itu seketika mengucapkan permintaan maaf dan mengganti pertanyaan. Namun, tangan Johan justru terangkat, ia menahan Muthia untuk mengganti pertanyaan sebab pikirannya kini menemukan sebuah jawaban.

“Gak ada ... satu orangpun dari keluarga gue gak ada yang telepon untuk ucapkan selamat, entah atas pembukaan gerai pertama, masuk Lorbes, atau bahkan saat penyematan mahkota Prince of UPN. Emang salahnya di gue yang memutuskan hubungan dengan mereka dan memilih untuk berlari mencari rumah ternyaman.

Keluarga memang gak memberikan satupun dukungan ke gue secara materi maupun non-materi. Tapi, mereka alasan gue buat bisa sukses. Gue gak mau jadi kayak bokap, gue gak mau jadi kayak nyokap. Setidaknya itu sih alasan gue bisa meraih kesuksesan.”

Venzhou yang merekam semua wawancara justru memekikan sebuah kalimat yang memotong acara syuting mereka. Menurutnya, sesi wawancara sudah cukup jelas dan panjang. Mereka justru beralih ke sesi lainnya untuk mengisi kanal YouTube universitas.


“Lo udah berapa tahun pelarian, Jo?” tanya Venzhou ketika acara syuting telah selesai. Kini mereka berada di atap gedung kampus, menikmati kopi botol dan langit malam yang sangat kosong tanpa sedikitpun bintang.

“Dari kelas ... sepuluh kalau gak salah. Kenapa?” Venzhou hanya terdiam, walaupun di dalam hati ia memuji kemampuan Johan yang bertahan dalam waktu yang cukup lama.

“Gue dari dulu pengen pergi juga, Jo. Tapi baru pas kuliah gue bisa.” Venzhou tertawa, ia mengeluarkan sebuah kotak berisi dua linting rokok, mengambil salah satu dan memberikan kotak itu kepada Johan selagi ia menyalakan rokoknya.

“Bokap gue dulu cuman maunya duit, duit, dan duit. Gue disuruh jadi teman seseorang yang cukup kaya biar bisa melorotin duitnya walaupun sama aja gue menyerahkan diri gue buat jadi alatnya. Tapi pas gue dapatkan duitnya, dihabisin sama bokap buat judi, mabuk, terus kadang-kadang juga nyabu,” ucap Johan saat ia selesai menyalakan rokok miliknya. Pemuda itu menghembuskan perlahan asap nikotin itu hingga membumbung tinggi ke angkasa.

“Tapi sekarang gue merasa ... kenapa gue harus lari karena gak suka sama bokap gue? Siapa yang jaga nyokap gue dari bokap kalau dia udah keluar lapas?” tanya Johan yang kini membuat mereka berdua turut larut dalam pikiran mereka. Kedua pemuda itu asyik menghisap selinting penuh nikotin, dan menghembuskan asap putih yang menenangkan pikiran kusut mereka.

Hingga akhirnya, Johan memadamkan sigaret yang ia hisap ke beton bangunan itu, beranjak dan berkata kepada Venzhou, “Bang ... percaya sama gue. Kalau hubungan lo sama bonyok masih ada jalan terbaiknya, lebih baik lo jangan lari. Soalnya, gue gak mau lo jadi kayak gue yang kebingungan mencari jalan buat pulang.”