Rusak & Runtuh

“Mahes! Hai!” Gadis itu terkekeh dan menunjukkan sepasang gigi kelincinya yang sangat membuatku gemas hingga tak terasa kedua tanganku memegang pipinya dan menarik hingga membuat ia kesal.

“Kamu soalnya buat saya tidak dapat berhenti mengucapkan rasa syukur karena diberi kehidupan sama Tuhan.” Euforia meletup-letup memenuhi rongga dadaku ketika melihat angin yang mengelus lembut tiap helai rambutnya yang indah. Sungguh! Rasanya aku ingin menyewa seluruh megafon yang ada di dunia hanya untuk berorasi bahwa Resa Amara adalah manusia yang hanya boleh aku cintai.

“Jangan senyum kayak gitu ih, Mahes. Serem tahu.” Gadis itu mengomel dan mencubit pinggangku, membuat tubuhku bereaksi dan menghindar dari cubitan maut miliknya.

“Aw, sakit Resa. Saya minta maaf deh,” tuturku sembari mengatupkan kedua telapak tangan untuk meminta pengampunan.

“Iya dimaafkan, tapi kabulin satu permintaanku dulu.” Aku memasang wajah serius dengan jemari yang mulai curi-curi untuk mengenggam tangannya. Menyalurkan kehangatan di setiap jengkal ketika sang awan tak henti untuk menuangkan air ke bumi pertiwi ini.

“Aku mau novel Hilmy Milan. Tapi, aku sibuk rapat terus. Sebenarnya mau beli online, tapi rumah kosong terus. Aku takut gak ada yang terima.”

“Ya nanti saya belikan, mau novel apa lagi? Biar saya belikan semuanya.” Aku melihat Resa yang menggeleng kuat. Ia berkata bahwa dirinya hanya ingin novel itu saja. Tak lebih. Aku hanya bisa mengiyakan permintaannya, dan membiarkan gadis itu berjalan masuk ke sekretariat untuk urusannya dengan anggota himpunan mahasiswa yang berkumpul di sana.

“Aku urusan sama Doni dulu ya, Mahes! Kabari aku kalau bukunya sudah kamu beli.” Aku mengacungkan ibu jari dan melambaikan tangan kepada Resa.

Namun ketika aku hendak berjalan menuju parkiran, tubuhku seketika terhenti karena sebuah dinding air raksasa yang dinamakan hujan. Aku masih berpikir, apakah aku harus membelahnya atau menunggu hingga reda.

“Lari saja, Hes. Saya tahu, diri ini sanggup,” monologku dan mulai menudungkan penutup kepala lalu berlari menghindari tiap rintik hujan yang menyerbu tubuhku serta menghantarkan segala rasa dingin yang menikam hingga ke tulang-belulangku.


Aku kembali, setelah satu jam berkutat di surganya para pecinta buku. Waktuku terkuras ketika sekumpulan buku berisi sajak yang cukup memikat perhatianku. Namun tetap saja, buku berwarna hijau muda dengan gambar akuarium menjadi hal utama yang aku bawa keluar dari toko berarsitektur Belanda itu.

Aku di sini, berdiri dan terbelalak tak percaya ketika melihat adegan tersebut di depan mataku.

Doni mengecup bibir kekasihku dan mereka justru saling balas melumat. Satu hal lagi yang harus kalian catat, gadis itu melakukan hal yang tak pantas itu di ruang sekretariat yang sepi dan remang.

“Aku mencintaimu, Doni.” Cukup! Aku membanting pintu itu dan pergi begitu saja dengan novel yang kini tak pernah aku beri kesiapapun.

“Mahes! Bisa aku jelaskan! Tunggu!” Gadis itu berteriak dan langit menjawab dengan suara gemuruh yang sangat kencang, mewakilkan gejolak emosiku yang kini memuncak.

“Mahes berhenti.” Aku tetap berjalan begitu saja. Tak peduli dengan Resa yang kini bersahut-sahutan dengan gemuruh.

Sungguh. Aku ingin menarik semua ucapanku sore tadi. Aku tak memiliki hatinya. Semua rasa yang telah aku miliki telah runtuh dan hubunganku kini telah rusak. Tersisa seluruh kekecewaan dan rasa egois yang membuatku tak berhenti menyusuri lorong dan menoleh kepada gadis yang kini tak menjadi kekasihku kembali.