Samudra Timoer
JUNI 2017
Gemuruh riuh petasan memenuhi telinga, membiarkan pria bergigi kelinci itu menatap langit yang penuh akan kembang api yang bermekaran dengan indah. Suara tabuhan bedug dengan klakson motor yang memenuhi gendang telinga benar-benar menjadi hal yang tak asing bagi telinga pemuda itu di setiap tahunnya.
Arak-arakan kali ini memang sangat spesial, walaupun dirinya tak merayakan hari raya. Namun setidaknya, ia berada di depan rumah, menikmati kembang api yang ia beli tadi di mamang penjual petasan.
“Namamu siapa sih sebenarnya? Lautan kan?”
Pria itu mengangguk. Ia hanya menurut ketika gadis itu setiap kali menyinggung namanya. Sebenarnya, kedua orang tuanya memberikan nama Samudera Timoer, namun mereka selalu memanggilnya sang Timur. Berbeda dengan teman-teman sekelasnya memanggil pemuda itu, Samudra.
Sedangkan gadis yang asyik bermain dengan kembang api itu memanggilnya dengan nama Lautan. Iya, Lautan. Katanya dahulu setiap kali melihat name tag nama Timur, ia selalu teringat dengan kata timur laut. Benar sekali, itu salah satu nama penunjuk arah di kompas, letaknya berada di antara utara dan timur.
Omong-omong, siapa gadis mungil yang sangat berisik itu? Dia adalah Cassiopeia, gadis yang ia temui ketika menjadi sukarelawan saat acara sahur on the road kemarin.
“Cassie, saya mau bicara sesuatu.” Pria itu memasang wajah datarnya sembari menarik satu bangku, meraih satu jagung yang dibakar oleh teman yang juga menjadi sukarelawan. Johan yang membakar jagung itu tak terima, dengan gaya seperti ibu kos yang menagih utang. Ia memarahi Samudera yang melahap jagung bakar tanpa dosa.
“Itu buat anak-anak sahur on the road yang sekarang takbiran.”
“Ya kan masih banyak itu, Johan … kalau kurang nanti biar aku ambilin lagi di mobil, masih ada itu jagungnya. Lagian ya, kamu bakar gosong gitu. Lihat tuh, si Lautan makan arang itu … bukan jagung,” celoteh Cassiopeia yang tak terima ketika netranya menangkap bagaimana pria itu melahap jagung yang hangus dengan gigi kelincinya.
“Cassie … dengarkan saya dahulu. Sini,” tukas Samudera sebelum gadis itu berceloteh panjang tentang cara Johan membakar jagung. Karena saat ini, ia berkejaran dengan waktu sebelum teman-temannya yang ikut takbiran tiba dan berpesta ria dengan jagung. Cassiopeia menurut, ia duduk di bangku plastik yang ditepuk oleh Samudera, dan beradu netra dengan coklatnya bola mata Samudera.
“Saya masih ingat sama pernyataan rasa kamu minggu lalu. Saya masih bisa jawab tidak?”
Manusia mana yang tidak bahagia ketika sebuah jawaban yang awalnya tak terpikirkan dan dilupakan karena tak kunjung dijawab, justru menjadi topik pembicaraan. Begitulah sekiranya yang Cassiopeia rasakan saat ini, ia benar-benar tak sabar ketika pria itu mulai memancing pernyataan rasanya yang terlupakan jikalau sudah ia utarakan.
“Jadi begini … saya sebenarnya juga suka sama kamu, Cas … tapi saya bisa minta waktunya tidak?” Pemuda itu menurunkan jagung yang ia santap, lalu mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin cincin yang begitu indah.
“Setiap kamu memanggil saya dengan nama Lautan Timoer, saya selalu teringat dengan gadis penguasa ayunan yang dahulu sering sekali membantu saya ketika anak laki-laki mulai menganggu saya dengan melempar pasir atau merebut paksa permen yang saya bawa. Liontin ini … terinspirasi sama kalungnya dahulu. Katanya itu cincin lamarabn bundanya yang tidak cukup. Makanya, sama bundanya dipakaikan sebagai kalung. Saya kehilangan gadis itu ketika Papa dipindah tugaskan, dan akhirnya di acara ini. Saya kembali menemukan gadis itu,” tutur Samudera yang kini menarik kedua ujung bibir dan membentuk sebuah sabit yang menawan melebihi rembulan.
“Maksudnya?” tanya Cassiopeia yang terus memutar semua kenangan, dan jadi teringat kembali dengan pemuda kecil yang tampak seperti orang kaya dari penampilannya. Pria kecil itu mengenalkan diri sebagai Lautan. Membuatnya kini menatap lekat netra Samudera untuk mencari jawaban di dalam lautan coklat iris mata pemuda manis itu.
“Cassiopeia, terima kasih ya sudah menjadi malaikat pelindung saya. Tapi, saya minta waktunya bisa? Saya mau ke Swedia, melanjutkan studi saya di sana sekitar lima tahun. Kamu bisa menunggu saya, tetapi kalau kamu menemukan cinta sejatimu, belahan jiwamu, kamu bisa merelakan saya. Tetapi saya berjanji, saya akan menemuimu.”
Tangan Samudera terjulur, ia memberikan kalung itu ke tangan Cassiopeia dan menutupnya hingga cincin itu tergenggam di tangan gadis itu. Ia tersenyum, merasa lega setelah mengeluarkan semua perasaan yang ia pendam.
“Berangkat kapan?”
“Besok. Besok pagi jam enam. Kamu gak usah datang, saya gak tega buat meninggalkanmu sendirian di sini kalau kamu menangis di bandara hanya demi mengantarkan saya. Mau saya pakaikan tidak kalungnya?”
“Sure! Boleh kok,” ucap Cassiopeia sembari memberikan kalung itu. Bukannya ia memasangkan kalung itu ke leher Cassiopeia, justru Samudera menunjukkan sisi dalam dari cincin itu. Sebuah ukiran di atas cincin emas putih, bertuliskan
Bintang utara & Timoer laut
Cassiopeia tertawa, kenapa cincin itu bertuliskan bintang utara dan timur laut? Benar-benar Samudera selalu membuat gadis itu terkejut dengan keajaibannya. Tetapi, Samudera selalu memiliki filosofi yang indah di setiap kalimat yang ia utarakan secara tertulis, Cassiopeia adalah sebuah rasi bintang yang bersinar di langit utara, bertepatan di sebelah kiri timur laut. Sangat mengejutkan bukan? Begitulah Samudera, selalu penuh kejutan!
Samudera mengenakan kalung itu di leher Cassiopeia, sedangkan bibirnya kini bergerak untuk berkata, “Sebenarnya nama saya Samudera. Tapi, saya dari kecil suka kata laut daripada samudra. Maka dari itu, saya senang sekali ketika kamu memanggil saya Lautan. Jujur saja, hanya kamu yang memanggil saya Lautan dari umur lima tahun sampai sekarang.”
Bertepatan dengan itu, seuara bising kendaraan mulai memadati pelataran rumah Samudera. Banyak pemuda yang mengenakan baju koko, sarung yang disampirkan di bahu, dan pemudi yang masih memakai mukena benar-benar membuat suasana menjadi kian ramai bukan main. Cassiopeia menyembunyikan liontin cincin itu di dalam kaos, dan berkata kepada Samudera, “Aku bakal nungguin kok, mau kamu Lautan, mau kamu Samudera, tetap kamu yang saya nantikan kapanpun itu. Udah ya, mau gabung sama yang lain.”
Gadis itu mengikat rambutnya, lalu berjalan mendekati kerumunan para pemudi yang mulai mengeluarkan sosis dan bakso untuk dibakar menemani jagung hangus hasil karya Johan.
“BAHAHAHA INI ULAH SIAPA?” ujar Afifah yang mengangkat tinggi-tinggi jagung bakar Johan. Gelak tawa gadis itu mengudara bahkan membuat sang pencipta mahakarya langsung berlari dan meraih jagung bakar itu sebelum terpampang di story Instagram anak-anak yang memadati meja dan pemanggang. Malam itu mereka habiskan dengan canda tawa, bermain permainan ponsel maupun PlayStation, bercengkrama, dan menyantap semua hidangan yang disajikan hingga habis tak tersisa.
Namun, malam itu menjadi malam terakhir untuk seorang Cassiopeia, karena paginya ia hanya terbangun di kamar pada pukul sepuluh dan tak dapat menghubungi Samudera sama sekali. Pemuda itu benar-benar terpisah jarak dengannya. Bukan hanya terpisah jarak, namun waktu dan benua.
LIMA TAHUN KEMUDIAN
“Kalian gak ada acara sahur on the road lagi kah?” tanya Cassiopeia kepada tongkrongan yang ia kenal setelah acara sahur on the road lima tahun lalu itu. Afifah, Rizky, dan beberapa teman lainnya kini menatap sidang isbat yang disiarkan melalui stasiun televisi. Menantikan apakah hari ini atau besok mereka akan mepakukan puasa.
“Gak tahu gue, Cas. Emangnya kenapa sih? Kangen sama Samudera, ya?” sindir Afifah yang kini bersorak sebab puasa yang mundur menjadi hari Minggu. Setidaknya, besok ia dapant maraton drama Korea sepuasnya. Sedangkan Cassiopeia kini menatap ponsel yang menampilkan ruang obrolan Samudera. Sejak kemarin, pemuda itu tak dapat ia hubungi. Bahkan pesannya tak terkirim. Benar-benar membuatnya bingung setengah mati.
Sampai di pagi hari, pikiran tentang menghilangnya Samudera benar-benar menganggunya. Akan tetapi, ia harus bersikap profesional ketika mengajari anak-anak sekolah dasar, cara membuat sebuah tembikar dengan tangan. Sedangkan seorang pria kini menatap gadis itu dari luar jendela, berdiri di daun pintu dengan tangan yang terlipat, sembari menatap Cassiopeia yang masih setia mengajarkan anak muridnya yang bersusah payah dengan tanah liat.
“Hobi baru, ya. Bikin tembikar. Tapi sayang, tangan kamu kaku sekali, Ibu guru.” Kalimat itu sukses membuat satu kelas menoleh, bahkan Cassiopeia benar-benar terkejut dengan kehadiran pemuda yang ia tunggu-tunggu dari kemarin.
“Bu Guru! Itu Kakak yang dari Swedia itu bukan?”
“Kok kamu tahu, anak manis? Apakah Ibu gurumu menceritakan tentangku?” Samudera melangkah mendekati bangku mungil gadis kecil dengan rambut yang terkepang menjadi dua, ia berlutut, membersihkan cemong tanah di pipi gadis itu sembari tersenyum dan memamerkan gigi kelincinya yang begitu manis.
“Iya! Katanya Bu Guru lagi nunggu tunangannya Kak Lautan Timoer, dia lagi pergi jalan-jalan di Swedia.” Samudera menatap Cassiopeia, ia berutang pertanyaan tentang apa saja yang gadis itu ceritakan tentang dirinya. Lalu Samudera mengusak rambut gadis kecil itu, lalu berpamitan untuk keluar, dan menunggu Cassiopeia sampai kelasnya berakhir.
“Lucu banget si Cassie ... sampai mereka kenal saya ….” Pemuda itu terkekeh dalam gumaman, wanita itu benar-benar menunggunya hingga lima tahun lamanya.
“Lama banget kah?”
“Besok mau sahur on the road gak? Bagi-bagi ke orang-orang sekitar kompleks rumah sama sekitar sini.” Sepertinya sahur on the road kali ini akan menjadi tempat seorang Cassiopeia dan Samudera Timoer bermadu kasih. Ya sudahlah, biarkan saja mereka menikmati asmaralokanya sebelum mengikat janji sehidup semati.