Secukupnya, Seperlunya

Toronto, 2020 “Kan udah gue bilangin, Jun. Jangan jadiin musik sebagai mata pencaharian lo. It's just fucking hobby, dude.

Suara pemuda itu membuat Arjuna kini memutar bola matanya dengan malas. Sudah berapa kali dirinya mendengar kalimat itu dari pria yang duduk di depannya sembari meneguk kopi instan.

“Bang HaJu, just enough. Enough. gue muak dengerin nasihat elo dan semua orang yang sama mulu.” Arjuna berdiri, meraih kamera DSLR miliknya dan berlenggang keluar dari flat tempatnya tinggal. Membiarkan pemuda yang lebih tua enam tahun darinya itu menyadari letak kesalahan dalam perbincangan mereka.

Arjuna mengacak rambut dengan kasar, tak peduli akan rambutnya yang berantakan tak beraturan. Kaki jenjang itu mulai menaiki sebuah streetcar berwarna merah dengan aksen putih yang mempermanis tampilan. Lantas duduk di salah satu kursi kosong untuk sekedar bersandar.

Terlalu banyak mulut yang berkata, terlalu banyak opini yang keluar tanpa ia pinta. Jujur saja, Arjuna saat ini cukup membutuh telinga yang mendengarkan keluh kesahnya seperti sang Bunda dan mantan kekasihnya.

Jemari Arjuna mengetuk ponsel, lantas membuka akun Instagram yang jarang ia sentuh. Matanya kini memandang layar utama Instagram yang kini menampilkan postingan terakhir milik Arga dan entah mengapa, Arjuna langsung mengirimkan sebuah pesan kepada sahabatnya sejak SMP itu.

junajunett Ga, can we talk? I know you in Toronto right now.

Sepertinya kalimat itu cukup untuk memulai pembicaraan yang terputus. Rasanya, dirinya harus berdamai dengan masa lalu agar dia tak merasakan lelah seperti ini.

argamerbaboe Sure, gue bareng Bagas sama Icikiwir tapi. Gapapa kan? Share location aja, nanti gue ke sana.

Oh, bareng mereka. Ya udah deh, batin Arjuna yang kini menuruni streetcar di salah satu halte, lantas mengirimkan sebuah titik di mana dirinya akan bertemu dengan rekan-rekannya.

“Bicara secukupnya dan seperlunya aja, Jun. I know you can do it yourself.” Pemuda itu bermonolog sembari membelah lautan manusia yang tengah bercengkrama dan berjalan di trotoar, menyebrangi jalanan aspal yang penuh lalu lalang kendaraan, lalu memasuki sebuah restoran bernuansa hitam.

Iya, dirinya harus berdamai dengan masa lalu dan sepertinya keputusannya membulat begitu saja ketika melihat Arga yang tengah menatap seseorang.

“Ga. Gue harus balikin Bumilangit buat kita bersama.”