Segitiga Bermuda
Baju mulai bertebaran di atas ranjang Rara. Padahal dirinya hendak pergi jalan-jalan menikmati angin malam bersama Akasha yang notabene adalah sahabatnya sejak bayi. Biasalah, wanita seperti Rara harus tampil maksimal.
“Gosh, itu anak naik burok atau gimana sih? Cepet banget,” omel Rara yang tengah mengaplikasikan maskara ketika ponsel miliknya terus-terusan berdering. Gadis berambut panjang terurai itu lantas beranjak dan mengambil ponsel lalu memasukkannya ke tas selempang.
“Nah, baru juga dibuka. Ayo buruan.”
“Berisik banget pakai telepon segala. Ya udah, ayo.” Rara mendorong bahu pria yang lebih tua dua tahun darinya itu menuruni tangga kosannya. Sedangkan Akasha hanya mengenyritkan dahi dan membiarkan seluruh pikirannya saling berdialog memenuhi kepala.
Siapa yang menelepon Rara? Bukan aku yang menelepon Rara.
Pemuda berdarah Jepang itu hanya mengangkat sudut kiri mulutnya lalu merangkul Rara untuk menuruni setiap anak tangga kosan menuju mobil yang ia parkirkan di depan rumah tiga tingkat itu.
Arga setia berdiri sembari mencengkram sebuah gelas berisikan kopi. Iris coklat miliknya mengamati dan meneliti setiap binar merah kendaraan yang melewati apartemen dan nampak dari jendela unitnya yang sangat besar.
Sebenarnya perasaan Arga sedang kacau hari ini. Dirinya bahkan tak muncul di basecamp seharian ini untuk sekedar bermain gitar atau drum.
Hari ini adalah ulang tahun Echa dan dirinya selalu tersiksa dengan hari itu. Maka saat ini, Arga hanya mengurung diri dan berusaha menelepon Rara. Because her deep hug is like medicine for Arga Maharu Awu and he need that.
Jemari Arga mulai menggulir timeline Twitter akun privatnya, hingga netranya terkunci kepada satu cuitan gadis yang dia hubungi sedari tadi.
“Taman Jagakarsa? Ngapain?” Alis sang adam tertaut dan tanpa basa-basi, dirinya langsung mengambil crew jacket yang ia gantung di kursi makan, lalu memakainya. Lantas pemuda itu meninggalkan unit apartemen menuju parkiran.
Pikirannya kini hanya Rara. Dirinya membutuhkan Rara satu malam saja.
Kembali ke Arasha Ragita yang kini tengah menikmati roti bakar coklat bersama Akasha. Entah akan berapa piring lagi yang akan ia pesan. Karena gadis itu cukup memyukai roti bakar dengan coklat yang melumer.
“Lo katanya mau diet ... kok udah habis tiga piring, Ra?” cibir Akash yang kini mendapat tatapan mematikan milik Rara. Tak segan-segan pula gadis itu melayangkan sebuah cubitan di lengan pemuda itu.
“Aduh! Ra! Galak banget ...” Akasha mengusap lengannya, “... omong-omong, kita kan udah deket dari zaman lo masih di kandungan nyokap lo sampai sekarang.”
Rara menghentikan aktivitas mengunyah, lantas memusatkan seluruh atensinya kepada pria di depannya.
“Gue suka sama lo, Ra.”
Entah darimana petir menyambar hati Rara ketika Akasha berterus terang seperti itu. Sungguh, gadis itu bingung hendak mengatakan apa kepada pemuda yang telah menjadi sosok kakak dalam kehidupannya.
Netra Akash menangkap sosok sahabatnya di dunia musik, tak lain dan tak bukan adalah Arga Maharu Awu yang tengah membulatkan mata setelah mendengar bagaimana Rara menerima sebuah pernyataan rasa dari teman kecilnya. Pemuda berdarah Jepang itu kembali menatap Rara dan tersenyum simpul. Seakan tahu apa jawaban dari perasaannya kali ini.
“Lo kayaknya suka sama temen kampus elo ya? Ra? Yang selalu lo ceritain nge-friend zone elo?”
Rara mengangguk dan menatap pria bernama asli Miyazaki Ichiro itu dengan perasaan yang tidak enak. Sangat tidak enak jikalau dia harus membuat Akasha alias Ichiro ini berada di posisinya bersama Arga. Namun sampai kapanpun, pemuda di depannya ini sudah ia anggap layaknya kakak.
“Mata lo udah jawab kok, Ra. Mata dia juga udah jawab kalau aslinya dia punya perasaan ke elo.” Dahi gadis itu mengerut, membuat Akasha langsung menunjuk ke belakang Rara menggunakan dagu.
Namun Arga telah berjalan dengan cepat meninggalkan Rara dan Akash. Akan tetapi, gadis itu mengetahui tubuh Arga yang jangkung membelah kerumunan. Membuat gadis itu beranjak dan ingin mengejar Arga.
Akasha mencengkram lengan Rara, menariknya, dan membisikkan sebuah kalimat ke telinga gadis itu.
“Ra, lo cuman punya dua pilihan. Mengikuti salah satu dari kita, entah itu Arga ... entah itu gue. Atau ... membiarkan perasaan gue sama lo itu tetap tergantung tanpa penjelasan dan membentuk sebuah segitiga bermuda yang suatu saat akan menenggelamkan lo.” Akasha tersenyum dan mengepalkan tangannya seperti orang yang akan memberikan semangat.
“Good luck, if you choose Arga. Semua keputusan lo itu baik kok, gue akan selalu dukung.” Rara mengangguk kecil, lalu berlari mengejar Arga.
“Ga! Tunggu!” Rara meneriaki nama Arga, hingga tanpa dirinya sadari jika pemuda itu menghentikan langkah dan membuat gadis itu menabrak punggung Arga.
“Lo kenapa di sini? Bukannya lo sama anak D'Jure itu?” Pemuda berwajah bule itu memutar badan dan menatap Rara seakan meminta jawaban atas apa yang dia lihat.
“Dia sahabat gue dari gue masih di kandungan nyokap. Gue tumbuh gede bareng dia, dan gue udah anggap dia abang gue. Lantas sopankah seorang adik menyukai kakaknya sendiri?” Sebuah dekapan erat langsung gadis itu terima setelah dirinya menjelaskan semua yang terjadi baru saja melalui penjelasan singkat.
“Gue kira, gue bakal kehilangan MJ gue untuk kedua kalinya. Gue bener-bener need your hug right now, Ra.“
“Iya-iya, gue bakal setia perjuangin perasaan gue dan menjadi pacar bias gue. Berbahagialah elo karena gue masih di sini. Perjuangin elo. Sekarang mending balik dulu deh, Ga. Gak enak dilihatin orang.”
“Hari ini hari ulang tahun Echa, Ra. Dan gue masih gak bisa maafin diri gue.” Arga mengencangkan dekapannya. Tak peduli dengan ucapan Rara baru saja serta puluhan pasang mata yang menatap mereka.
“Iya ... sesi curhatnya di rumah aja ya. Siniin kunci mobil lo, gue aja yang bawa.” Rara meraih kunci mobil bergantungan Spider-Man lantas berjalan mendorong Arga menuju mobil. Walaupun akhirnya Arga jugalah yang mengendarai mobil.
“Jangan nangis gitu ih, Ga. Jelek.” Rara mengeluarkan satu kotak tisu dari dashboard, lantas memberikan benda itu kepada Arga.
“Thanks.”
“Ngapain pakai terima kasih? Kan ini tisu elo jugaan.”
“No Bukan buat itu.” Arga mencuri pandang kepada Rara, membuat Rara sedikit menahan tawa sebab mata Arga yang sangat merah.
“Gue makasih, elo mau setia suka sama gue. Padahal gue friend zone -in lo terus.” Gadis utu menggeleng, lantas mendekatkan wajah mereka. Sangat dekat, hingga mereka dapat mendengarkan deru napas satu sama lain.
“Sikap lo udah balas perasaan gue, Ga. Lo gak usah jelasin secara sadar, karena alam bawah sadar lo udah jelasin ke gue saat tahun baru dulu di Solo.”
“Maksudnya?” Rara mengusap bibir Arga lantas terkekeh. Namun sedetik kemudian, gadis itu segera kembali ke posisi sebab klakson dari arah belakang yang terus-terusan memberondong mereka.
“Maksudnya apa sih, Ra? Jangan bilang gue cium elo?”
“Tanya aja nanti sama Bagas. Dia yang ngerekam kelakuan lo.”
Segitiga bermuda mulai hilang dan terganti. Karena Rara masih memegang erat keputusan yang ia pilih, yaitu menjadi bahu untuk Arga yang masih membutuhkan waktu untuk melepas bayangan masa lalu yang membelenggu. Memberikan waktu untuk pemuda itu agar dapat melepas ikatan yang ia ciptakan.
Karena sejatinya, perasaan mereka saling balas membalas. Hanya saja terhalang oleh masa lalu yang penuh dengan penyesalan.