Selamat Ulang Tahun
“Aturan terakhir dari gue, selama lo di sini, jangan pernah ucapin gue selamat ulang tahun,” ucap Dilaga saat memberikan beberapa informasi penting ke Nediva yang baru saja dipindahkan ke divisinya.
“Baik, Inspektur Dilaga!”
“Gak usah formal-formal banget, Ned. Panggil aja Aga.”
“Oh, oke Aga. Tapi gue boleh tanya sesuatu gak? Ini tentang peraturan yang lo kasih barusan,” tanya gadis itu yang membuat Dilaga langsung menoleh dan tersenyum.
“Memangnya ada apa sama hari ulang tahunmu, Ga?”
Senyuman Dilaga pudar, ia teringat kembali dengan hari ulang tahunnya ke empat belas.
“Gue berhenti ngerayain ulang tahun pas umur empat belas tahun.”
6 Juni 2014 Suasana rumahnya begitu penuh dan sesak akan pelayat yang berduka akan kepergian atlet muda mereka. Tetapi, Dilaga benar-benar membenci saat itu.
Bukan lilin warna-warni yang menyala di atas roti, melainkan lilin putih yang terus menyala di altar kecil penuh bunga, menemani foto seseorang yang memiliki wajah serupa dengannya.
Tidak ada bunga maupun ucapan selamat ulang tahun untuknya dan Diraga, melainkan ucapan turut berduka cita dan kalimat-kalimat yang berusaha membuatnya tegar.
“Abi,” panggil Dilaga kepada seorang pria. Sepertinya sang Abi terlalu sibuk dengan tamu, sehingga mau tidak mau ia harus kembali ke kamar tidur dan mengambil sejumlah uang yang ia tabung.
“Umi, Aga pergi dulu sebentar.”
“Mau kemana?”
“Cari roti tart, Mi. Nanti Aga balik.”
Dilaga meraih sepeda miliknya, lantas ia mengayuh terus pedalnya agar semakin cepat ia tiba di toko roti depan kompleks.
“Minta roti blackforest satu, Mbak.” Seorang pramusaji mulai berjalan, ia mengambil pesanan Dilaga dan membungkusnya dalam kotak kardus.
Setelah semua transaksi selesai, Dilaga langsung kembali ke rumah. Ia sudah memperhitungkan waktu, masih ada cukup waktu untuk merayakan ulang tahunnya yang terakhir bersama sang kembaran.
“Permisi, permisi.” Dilaga langsung berjalan memasuki rumah, menggeser seluruh benda di altar kecil hingga sang Umi kebingungan setengah mati dengan kelakuan anak bungsunya.
“Kamu mau ngapain, Aga?”
“Ngerayain ulang tahun terakhir,” ucap Dilaga yang menyalakan kedua lilin angka dengan korek lantas menatap Umi dan Abi yang memandangi dirinya.
“Hari ini ulang tahun Aga sama Raga, berhubung semua orang pada datang, ayo nyanyi selamat ulang tahun.”
Lagu selamat ulang tahun dikumandangkan walaupun dalam nada yang sedih. Umi lagi dan lagi menangis, membuat suaminya mendekap sang istri. Perasaan mereka berdua cukup hancur ketika melihat aksi Dilaga detik ini.
Dilaga sudah beberapa kali mengusap air matanya, ia menatap separuh jiwanya yang kini tertidur dalam keabadian dengan pakaian anggarnya. Dilaga meniup lilin dan memaksakan sebuah senyuman walaupun ia merasakan sesak yang begitu sangat di dalam dada.
“Umi ... Abi ... mulai hari ini ... Aga gak ngerayain lagi ulang tahun. Cukup hari ini aja, tahun berikutnya Aga gak mau ada yang rayain ulang tahun lagi.”
Alarm di jam tangan Dilaga berbunyi. Waktu istirahat telah tiba, ia langsung menarik sebuah senyuman kepada Nediva dan berjalan ke arah pintu.
“Gue pamit dulu, ya. Mau ke makam Diraga.”
“Ga.”
“Iya kenapa?”
“Kalau gue gak boleh ucapin selamat ulang tahun ke elo, gue boleh nitip ucapan selamat ulang tahun ke saudara kembar lo?”
Dilaga terdiam, ia berusaha berpikir sebentar, dan mengangguk sembari berkata, “Sure, nanti gue sampaikan ucapan elo.”