Semangkok Indomie
“Kak Ren kenapa sih?” Naufal melempar ponselnya sembarang lalu membanting tubuh di atas kasur.
Netranya menangkap jarum jam yang ada di atas jendela, pukul dua belas lebih dan rumah terasa sangat sepi. Mungkin, kedua orang tuanya masih sibuk.
Pemuda itu berjalan keluar dari kamar dan menghampiri kamar saudara kembarnya yang lain.
“Kak Mada! Mau Indomie enggak!” ucap pria bergigi kelinci itu sembari beberapa kali mengetuk pintu kamar. Hening, tanpa jawaban dari sang pemilik kamar. Sangat mencurigakan bagi Naufal, karena biasanya sang tengah kini bermain Mario Kart hingga nanti pukul tiga pagi.
“Kak.” Naufal membuka knop pintu, ruangan itu sangatlah berantakan. Berbagai pakaian tergeletak begitu saja di lantai dan di seluruh penjuru kamar.
Namun, sang kakak tak ia temukan barang sehelai rambut sekalipun. Hingga indra pendengarannya menangkap sebuah suara isak.
“Kak Mada ... .” Naufal mendekati jendela kamar Madava, sangat jelas terdengar suara isakan di balik hujan yang deras.
Pemuda itu menangkap bayang Renjana di netranya, pemuda itu yang menangis bersama hujan. Rasanya, Naufal ingin sekali memanggil sang kakak. Namun, ia tak sanggup. Yang dia hanya lakukan hanyalah meninggalkan kamar Madava dan menuruni tiap anak tangga. Menemukan Madava yang kini tengah memakan mi instan sembari entahlah ... berkirim pesan dengan sahabatnya mungkin?
“Kak, bisa tolongin Naufal gak?”
“Tolongin apa?” Naufal membisikkan sesuatu ke telinga Madava. Membuat pemuda itu langsung beranjak dan berlari menaiki setiap anak tangga menuju kamar Renjana.
Suara teriakan Madava sangatlah kencang, pemuda yang telah memasuki masa akil balik itu memiliki suara bariton yang sangat tegas di setiap dirinya memanggil nama Renjana.
Hingga ia tak mendengarnya lagi, mungkin kini si tengah mencoba untuk nekat untuk mengangkat sang sulung dari jendela kamarnya.
“Bang Renjana gak usah nekat gini bisa gak sih? Gue khawatir elo demam.” Begitulah omelan Madava yang pemuda itu dengar.
“Ini beneran kamar lo?” Naufal terbahak. Untung saja, pemuda itu dapat menahannya agar tidak menjadi runyam masalah. Ucapan Renjana selalu seperti itu, singkat dan tepat pada sasaran. Terkadang, ucapan pemuda mungil itu terlalu jujur hingga orang sedikit tertohok.
“Bang, turun yuk. Lo harus angetin badan. Naufal bikinin lo Indomie kesukaan lo. Gak ada penolakan atau nanti ... gue gampar elo.” Madava mendorong tubuh Renjana yang kini terbalut selimut tebal milik Madava, menuruni setiap anak tangga yang ada untuk menemui Naufal yang kini menaruh semangkuk Indomie kari spesial dengan telor di atasnya.
“Nih, Kak. Kesukaanmu.” Netra Naufal menangkap sekilas senyuman di wajah Renjana. Entah mengapa, pemuda itu sangat bahagia ketika melihat sang kakak tersenyum seperti itu.
“Terima kasih.” Madava menoleh ke arah Renjana, lalu mendekatkan telinga kepada bibir Renjana. Meminta pemuda itu untuk mengulang kembali ucapannya.
“Kuping lo banyak congek. Udah minggir! Gue mau makan. Atau kepala lo yang gue makan?”
Semangkok Indomie memberikan sisi di mana Renjana juga manusia yang punya perasaan. Dirinya juga ingin diberi cinta dan sang adiklah yang mampu memberikannya.